Tentu sebagai orangtua baru selalu ingin yang terbaik buat si kecil.
Termasuk membelikan perlengkapan makan. Selain warna dan desain ada hal
lain yang wajib dicermati saat membelinya.
Mungkin terlihat
sepele, namun memilih alat makan untuk si anak tentu tak bisa
sembarangan. Jangan sampai memberikan resiko si kecil terkena luka
ataupun ia jadi tak bersemangat makan karena tak nyaman. Simak 4 tips
untuk memilih alat makan yang aman!
1. Tumpul
Dalam memilih alat makan, pastikan tak
ada bagian yang tajam. Pilihlah alat makan yang tumpul dan tidak
berpotensi untuk melukainya. Semakin belia usia anak, semakin anda harus
betul-betul memperhatikan hal ini. Jangan membiarkannya menggunakan
pisau atau garpu untuk dewasa. Dalam memilih alat makan plastik,
pastikan jika tak mudah patah.
2. Mudah Digenggam
Permukaan yang tebal dan
membulat akan membuat si kecil menggenggam alat makan dengan lebih
mudah. Sendok dan garpu yang mudah dipegang membuatnya lebih mudah
membiasakan diri menggunakan sendok dan garpu
3. Bahan Tidak Berbahaya
Masih banyak alat makan
anak yang beredar mengandung racun. Bacalah dengan cermat kemasan alat
makan sebelum membelinya. Pastikan jika materialnya aman bagi anak.
Jangan memberikan si kecil alat makan yang sembarangan dibeli, dan
cermati terlebih dulu.
4. Menarik
Membiasakan anak agar mau makan
sendiri dengan sendok dan garpunya memang gampang-gampang susah. Salah
satu cara menarik perhatiannya adalah dengan memilih alat makan dengan
warna dan gambar yang menarik.
sumber
SHARING IS CARING
Selasa, 28 Februari 2017
Tips Mengatasi Anak Tantrum
Ketika si kecil Anda mengalami ledakan tantrum atau ledakan kemarahan, apa yang biasa dan bisa Anda lakukan untuk meredakannya?
Hampir semua ibu mengalami kegalauan dan merasa bingung menghadapi anak-anak mereka yang tantrum. Terlebih bila tantrum itu terjadi ketika sedang berada di luar rumah atau tempat-tempat umum atau di saat ibu sedang disibukkan oleh sesuatu, maka tekanan yang dirasakan oleh ibu pasti akan semakin besar.
Secara teori, tantrum biasanya terjadi pada anak usia 1-4 tahun dan hanya berlangsung sekitar 2 menit. Karena ketika kemampuan verbal dan kontrol fisik seorang anak sudah semakin membaik, sifat atau perilaku tantrum ini akan mereda dengan sendirinya. Namun, tentu saja, menangani tantrum tak bisa sembarangan. Harus ada pembinaan dari orangtua kepada anak tentang bagaimana mereka harus belajar mengontrol diri dan mengatasi gejolak emosi mereka. Jika hanya melakukan pembiaran dengan menganggap “ah, namanya juga anak-anak, nanti juga bakalan hilang sendiri” dan bahkan menuruti setiap tuntutan anak, maka imbas ke depannya adalah anak akan tumbuh menjadi anak yang bossy dan egois.
1. Cari tahu dan pelajari penyebab anak-anak menjadi tantrum. Anak-anak cenderung mudah marah karena mereka lapar, sakit, bosan, kelelahan, atau frustrasi. Mempelajari penyebab ini tentunya butuh observasi selama beberapa minggu, tidak bisa hanya sehari atau 2 hari saja. Buat catatan-catatan perilaku keseharian anak, dan kemudian pelajarilah catatan tersebut. Kita bisa mengetahui kapan anak cenderung mudah marah, apa penyebabnya, kapan saja anak bisa tidak marah dan menurut, kondisi emosinya saat ia sakit atau kelelahan, dan lain sebagainya. Dari catatan itulah nantinya kita bisa mencari jalan untuk menghindari atau meminimalisir terjadinya tantrum. Bagaimanapun, menghindari penyebab tantrum itu lebih mudah daripada menghadapi ledakan tantrumnya.
Jadi, jangan buru-buru berkonsultasi dan menanyakan “anak saya kenapa”, “saya bingung menghadapinya”, “saya ngga tahu kenapa dia begitu” atau “bagaimana solusinya” jika kita sendiri belum mencoba untuk mencari tahu dan mengobservasi anak kita sendiri. Yang paling mengerti anak-anak seharusnya adalah ibu dan ayah mereka. Psikolog, konsultan anak, dokter, semua mempelajarinya dari keterangan orangtua si anak. Memberikan solusi hanya sesuai teori. Tapi bagaimana prakteknya di rumah atau di luar, mereka tidak tahu dan pastinya banyak yang tidak akan mencari tahu.
2. Perhatikan gejala awal anak tantrum. Biasanya, sebelum anak benar-benar “meledak”, mereka akan menunjukkan tanda-tanda merasa “kesulitan” atau frustrasi. Misalnya seperti mereka tampak tidak sabar menyelesaikan sesuatu, membuang apa yang ada di tangannya, menarik napas dalam-dalam, ber-“ah-eh” (atau mimbik-mimbik – bahasa Jawa), atau perubahan mimik wajahnya. Bila tanda-tanda semacam ini sudah mulai terlihat, segera berikan pertolongan pertama : alihkan perhatiannya.
3. Alihkan perhatiannya. Perlihatkan sesuatu yang dapat menarik perhatiannya, atau ajak anak melakukan hal seru yang ia sukai, atau tawarkan untuk membacakan cerita. Sangat penting bagi kita untuk tahu apa saja yang bisa mengalihkan perhatian anak. Dan sekali lagi, ini adalah pengetahuan dasar yang harus diketahui oleh setiap orangtua.
4. Pindahkan ke lokasi yang lebih aman. Anak-anak cenderung suka melempar apa yang ada di sekeliling mereka atau berguling-guling di lantai saat mereka tantrum. Maka pindahkan ke tempat dimana ia bebas berguling-guling atau menangis yang tidak ada barang-barang di sekitarnya yang bisa mereka rusak. Atau jika sedang berada di luar rumah, pelukan ibu adalah tempat teraman bagi seorang anak yang tantrum. Biarkan anak menangis dan peluk mereka. Orang di sekitar Anda mungkin terganggu, tapi abaikan perasaan malu dan tidak enak itu. Itu wajar, dan setiap anak wajar mengalami tantrum. Yang tidak wajar adalah menuruti semua keinginan anak.
5. Jangan menyerah dan menuruti apa yang diinginkan anak. Ketika kita menyerah pada kemarahan anak dalam hitungan 2 menit atau 10 kali pukulan (jika anak marah sambil memukul), atau saat kita merasa malu pada orang lain di sekitar kita, maka anak-anak akan belajar dan menjadikan itu sebagai senjata canggih mereka di kemudian hari. Mereka akan belajar bahwa jika mereka menangis dengan gigih sedikit lagi, Anda akan luluh dan memberikan apa yang mereka mau. Maka, cobalah untuk tenang dan abaikan kemarahannya. Jika Anda nampak ingin marah dan mulai tersulut emosi, segeralah pergi dan hindari anak untuk sesaat sambil menenangkan diri Anda.
Salah seorang senior saya di sekolah bercerita bahwa anaknya cukup keras kepala dan ketika keinginannya tidak dipenuhi, anak tersebut akan marah dan menangis sambil bergulingan di lantai. Dan ketika sang ibu yakin tempat itu aman, maka anak itu pun dibiarkan saja tiduran di lantai bahkan sampai tertidur sungguhan di sana. Beliau memberikan jarak yang cukup untuk mengawasi, sambil tetap dengan aktivitas beliau sendiri. “Memang berhasil, Dik. Setelah mereda marahnya atau saat ia terbangun, saya akan memeluknya dan memberinya pengertian. Beberapa kali memang terjadi seperti itu. Tapi, saya tidak menyerah dan akhirnya anak sayalah yang menyerah dan tahu bahwa usahanya dengan cara menangis dan marah itu tidak akan berhasil,”.
6. Jangan tertawakan anak yang sedang tantrum. Anak yang sedang tantrum tidak boleh ditertawakan, dan jangan sampai membuat mereka beranggapan bahwa marah itu lucu karena semua orang tertawa. Ketika Alifa mulai merajuk dan marah, tante dan omnya sering menertawai tingkahnya. Memang lucu melihat bibirnya mengerucut dan mata sipitnya bersinar-sinar marah. Tapi, pada akhirnya itu semua justru semakin membuat tantrumnya menjadi. Semakin keras ia ditertawakan, semakin hebat pula tantrumnya. Karena ia tahu, ia “lucu” saat marah, dan ia ingin menarik perhatian dari tante dan omnya.
7. Jangan respons keinginan anak sampai ia berhenti tantrum atau berteriak. Anak-anak harus belajar bahwa setiap keinginan harus disampaikan dengan baik, bukan dengan marah, berteriak, dan menangis. Terkadang saya hanya menatap Alifa saat ia menangis minta sesuatu, atau saya hanya menghela nafas dan memberi isyarat bahwa saya ada di kamar jika ia membutuhkan saya. Saya tidak mengatakan apapun, sampai ia diam dan datang memeluk saya. Barulah saya katakan, “apa kata ajaibnya jika kamu butuh bantuan?” dan perlahan ia mengatakan, “tolong, Bunda…”. Atau bila itu terjadi di tempat umum, saya akan dengan tegas mengatakan padanya, “Bunda hanya akan mendengarkan mbak Fafa jika mbak Fafa bisa bilang dengan baik”.
Anak-anak harus belajar dan tahu bahwa orangtualah yang memegang kendali, bukan mereka. Dalam artian, mereka boleh mengungkapkan keinginan dengan cara yang baik, namun tidak semua keinginan mereka harus dipenuhi. Inilah sikap yang seharusnya dimiliki oleh orangtua. Kita, orangtualah yang harusnya bisa mengendalikan anak, bukan anak-anak yang mengendalikan kita.
8. Berikan pelukan dan ajak anak bicara setelah tantrumnya reda. Kita wajib menentramkan hati anak dan memberikan mereka pengertian tentang sikap-sikap yang baik dan mengajari mereka cara mengungkapkan keinginan mereka dengan baik. Jika kita hanya membiarkan saja, tanpa memberikan mereka pengertian bahwa apa yang mereka lakukan itu salah, maka semua cara di atas akan sia-sia. Anak-anak tidak akan belajar dari sana dan akan menganggap bahwa tangisan dan kemarahan mereka adalah hal yang biasa. Namun, ajaklah mereka untuk mengatasi dan mengolah emosi mereka menjadi lebih baik.
sumber
Hampir semua ibu mengalami kegalauan dan merasa bingung menghadapi anak-anak mereka yang tantrum. Terlebih bila tantrum itu terjadi ketika sedang berada di luar rumah atau tempat-tempat umum atau di saat ibu sedang disibukkan oleh sesuatu, maka tekanan yang dirasakan oleh ibu pasti akan semakin besar.
Secara teori, tantrum biasanya terjadi pada anak usia 1-4 tahun dan hanya berlangsung sekitar 2 menit. Karena ketika kemampuan verbal dan kontrol fisik seorang anak sudah semakin membaik, sifat atau perilaku tantrum ini akan mereda dengan sendirinya. Namun, tentu saja, menangani tantrum tak bisa sembarangan. Harus ada pembinaan dari orangtua kepada anak tentang bagaimana mereka harus belajar mengontrol diri dan mengatasi gejolak emosi mereka. Jika hanya melakukan pembiaran dengan menganggap “ah, namanya juga anak-anak, nanti juga bakalan hilang sendiri” dan bahkan menuruti setiap tuntutan anak, maka imbas ke depannya adalah anak akan tumbuh menjadi anak yang bossy dan egois.
1. Cari tahu dan pelajari penyebab anak-anak menjadi tantrum. Anak-anak cenderung mudah marah karena mereka lapar, sakit, bosan, kelelahan, atau frustrasi. Mempelajari penyebab ini tentunya butuh observasi selama beberapa minggu, tidak bisa hanya sehari atau 2 hari saja. Buat catatan-catatan perilaku keseharian anak, dan kemudian pelajarilah catatan tersebut. Kita bisa mengetahui kapan anak cenderung mudah marah, apa penyebabnya, kapan saja anak bisa tidak marah dan menurut, kondisi emosinya saat ia sakit atau kelelahan, dan lain sebagainya. Dari catatan itulah nantinya kita bisa mencari jalan untuk menghindari atau meminimalisir terjadinya tantrum. Bagaimanapun, menghindari penyebab tantrum itu lebih mudah daripada menghadapi ledakan tantrumnya.
Jadi, jangan buru-buru berkonsultasi dan menanyakan “anak saya kenapa”, “saya bingung menghadapinya”, “saya ngga tahu kenapa dia begitu” atau “bagaimana solusinya” jika kita sendiri belum mencoba untuk mencari tahu dan mengobservasi anak kita sendiri. Yang paling mengerti anak-anak seharusnya adalah ibu dan ayah mereka. Psikolog, konsultan anak, dokter, semua mempelajarinya dari keterangan orangtua si anak. Memberikan solusi hanya sesuai teori. Tapi bagaimana prakteknya di rumah atau di luar, mereka tidak tahu dan pastinya banyak yang tidak akan mencari tahu.
2. Perhatikan gejala awal anak tantrum. Biasanya, sebelum anak benar-benar “meledak”, mereka akan menunjukkan tanda-tanda merasa “kesulitan” atau frustrasi. Misalnya seperti mereka tampak tidak sabar menyelesaikan sesuatu, membuang apa yang ada di tangannya, menarik napas dalam-dalam, ber-“ah-eh” (atau mimbik-mimbik – bahasa Jawa), atau perubahan mimik wajahnya. Bila tanda-tanda semacam ini sudah mulai terlihat, segera berikan pertolongan pertama : alihkan perhatiannya.
3. Alihkan perhatiannya. Perlihatkan sesuatu yang dapat menarik perhatiannya, atau ajak anak melakukan hal seru yang ia sukai, atau tawarkan untuk membacakan cerita. Sangat penting bagi kita untuk tahu apa saja yang bisa mengalihkan perhatian anak. Dan sekali lagi, ini adalah pengetahuan dasar yang harus diketahui oleh setiap orangtua.
4. Pindahkan ke lokasi yang lebih aman. Anak-anak cenderung suka melempar apa yang ada di sekeliling mereka atau berguling-guling di lantai saat mereka tantrum. Maka pindahkan ke tempat dimana ia bebas berguling-guling atau menangis yang tidak ada barang-barang di sekitarnya yang bisa mereka rusak. Atau jika sedang berada di luar rumah, pelukan ibu adalah tempat teraman bagi seorang anak yang tantrum. Biarkan anak menangis dan peluk mereka. Orang di sekitar Anda mungkin terganggu, tapi abaikan perasaan malu dan tidak enak itu. Itu wajar, dan setiap anak wajar mengalami tantrum. Yang tidak wajar adalah menuruti semua keinginan anak.
5. Jangan menyerah dan menuruti apa yang diinginkan anak. Ketika kita menyerah pada kemarahan anak dalam hitungan 2 menit atau 10 kali pukulan (jika anak marah sambil memukul), atau saat kita merasa malu pada orang lain di sekitar kita, maka anak-anak akan belajar dan menjadikan itu sebagai senjata canggih mereka di kemudian hari. Mereka akan belajar bahwa jika mereka menangis dengan gigih sedikit lagi, Anda akan luluh dan memberikan apa yang mereka mau. Maka, cobalah untuk tenang dan abaikan kemarahannya. Jika Anda nampak ingin marah dan mulai tersulut emosi, segeralah pergi dan hindari anak untuk sesaat sambil menenangkan diri Anda.
Salah seorang senior saya di sekolah bercerita bahwa anaknya cukup keras kepala dan ketika keinginannya tidak dipenuhi, anak tersebut akan marah dan menangis sambil bergulingan di lantai. Dan ketika sang ibu yakin tempat itu aman, maka anak itu pun dibiarkan saja tiduran di lantai bahkan sampai tertidur sungguhan di sana. Beliau memberikan jarak yang cukup untuk mengawasi, sambil tetap dengan aktivitas beliau sendiri. “Memang berhasil, Dik. Setelah mereda marahnya atau saat ia terbangun, saya akan memeluknya dan memberinya pengertian. Beberapa kali memang terjadi seperti itu. Tapi, saya tidak menyerah dan akhirnya anak sayalah yang menyerah dan tahu bahwa usahanya dengan cara menangis dan marah itu tidak akan berhasil,”.
6. Jangan tertawakan anak yang sedang tantrum. Anak yang sedang tantrum tidak boleh ditertawakan, dan jangan sampai membuat mereka beranggapan bahwa marah itu lucu karena semua orang tertawa. Ketika Alifa mulai merajuk dan marah, tante dan omnya sering menertawai tingkahnya. Memang lucu melihat bibirnya mengerucut dan mata sipitnya bersinar-sinar marah. Tapi, pada akhirnya itu semua justru semakin membuat tantrumnya menjadi. Semakin keras ia ditertawakan, semakin hebat pula tantrumnya. Karena ia tahu, ia “lucu” saat marah, dan ia ingin menarik perhatian dari tante dan omnya.
7. Jangan respons keinginan anak sampai ia berhenti tantrum atau berteriak. Anak-anak harus belajar bahwa setiap keinginan harus disampaikan dengan baik, bukan dengan marah, berteriak, dan menangis. Terkadang saya hanya menatap Alifa saat ia menangis minta sesuatu, atau saya hanya menghela nafas dan memberi isyarat bahwa saya ada di kamar jika ia membutuhkan saya. Saya tidak mengatakan apapun, sampai ia diam dan datang memeluk saya. Barulah saya katakan, “apa kata ajaibnya jika kamu butuh bantuan?” dan perlahan ia mengatakan, “tolong, Bunda…”. Atau bila itu terjadi di tempat umum, saya akan dengan tegas mengatakan padanya, “Bunda hanya akan mendengarkan mbak Fafa jika mbak Fafa bisa bilang dengan baik”.
Anak-anak harus belajar dan tahu bahwa orangtualah yang memegang kendali, bukan mereka. Dalam artian, mereka boleh mengungkapkan keinginan dengan cara yang baik, namun tidak semua keinginan mereka harus dipenuhi. Inilah sikap yang seharusnya dimiliki oleh orangtua. Kita, orangtualah yang harusnya bisa mengendalikan anak, bukan anak-anak yang mengendalikan kita.
8. Berikan pelukan dan ajak anak bicara setelah tantrumnya reda. Kita wajib menentramkan hati anak dan memberikan mereka pengertian tentang sikap-sikap yang baik dan mengajari mereka cara mengungkapkan keinginan mereka dengan baik. Jika kita hanya membiarkan saja, tanpa memberikan mereka pengertian bahwa apa yang mereka lakukan itu salah, maka semua cara di atas akan sia-sia. Anak-anak tidak akan belajar dari sana dan akan menganggap bahwa tangisan dan kemarahan mereka adalah hal yang biasa. Namun, ajaklah mereka untuk mengatasi dan mengolah emosi mereka menjadi lebih baik.
sumber
Jadwal MPASI bayi 6 bulan
Wah, si kecil sudah memasuki usia 6 bulan, Bu? Sebentar lagi, saatnya pemberian makanan pendamping ASI atau MPASI lho.
Jangan terlambat mengenalkan si kecil
dengan MPASI. Kalau ia sudah bisa menegakkan kepala, bisa duduk dengan
bantuan atau kadang memasukkan benda ke mulutnya, itu artinya si kecil
sudah siap menerima makanan pertamanya.
Bayi berusia 6 bulan yang diberikan ASI dan makanan tambahan berpotensi tumbuh menjadi anak hebat. Anak hebat itu pintar tidak hanya dari sisi intelegensi (IQ) semata, namun juga pintar dari sisi emosional (EQ) seperti memiliki rasa peduli terhadap sekitar dan cepat tanggap saat mendapat informasi baru dari lingkungan.
Nah, pasti Ibu ingin si kecil tumbuh jadi anak hebat,
kan? Karena itu, penuhi semua kebutuhan nutrisi harian sejak dini
secara terjadwal. MPASI ini bisa berupa makanan lembut agak cair seperti
bubur susu, bubur buah maupun bubur sayuran dan yogurt.
Kendati telah mengonsumsi makanan
tambahan, ASI harus terus diberikan hingga usia 2 tahun karena makanan
tambahan tersebut sifatnya hanya untuk mendampingi atau melengkapi
nutrisi si kecil ketika pencernaannya sudah siap mengolah makanan.
Sebagian ibu mungkin masih merasa
bingung untuk merencanakan menu sehat buat si kecil yang berusia 6
bulan. Kalau tidak direncanakan atau dijadwal dengan baik, bisa-bisa si
kecil malah rewel karena lapar dan ibu kesulitan membentuk rutinitas
pola makannya.
Jadi, agar ibu lebih gampang menyiapkan
MPASI buat si kecil setiap hari. Yuk, simak dulu jadwal pemberian MPASI
untuk bayi 6 bulan berikut ya, Bu…
Pemenuhan Kebutuhan Gizi Bayi 6 Bulan
No. |
Jam |
Bentuk Makanan |
Jumlah |
1. |
06.00 |
ASI |
Sekehendak bayi |
2. |
09.00 |
Bubur, buah/sari buah, |
2-3 sendok makan secara bertahap
tingkatkan perlahan sampai ½ gelas/mangkuk ukuran 250 ml tiap kali
makan atau sekitar 125 ml MPASI tiap kali makan.
|
3. |
12.00 |
ASI |
Sekehendak bayi |
4. |
15.00 |
Bubur, buah/sari buah |
2-3 sendok makan secara bertahap
tingkatkan perlahan sampai ½ gelas/mangkuk ukuran 250 ml tiap kali
makan atau sekitar 125 ml MPASI tiap kali makan.
|
5. |
18.00 |
ASI |
Sekehendak bayi |
6. |
21.00 |
ASI |
Sekehendak bayi |
Seperti yang bisa dilihat pada tabel,
makanan pendamping ASI berbentuk lumat bisa diberikan 2-3 kali sehari
dengan makanan selingan berupa buah atau biskuit sebanyak 1-2 kali
sehari. Jumlah takaran 2-3 sendok secara bertahap hingga mencapai ½
gelas atau 125 ml setiap kali makan.
MPASI yang diberikan berupa makanan
lumat seperti daging/ikan/telur, tahu/tempe dan buah yang
dilumatkan/disaring, seperti tomat saring, pisang lumat halus, serta
pepaya lumat atau air jeruk manis. Untuk jenis bubur, Ibu dapat membuat
bubur susu maupun bubur ASI.
Secara bertahap teksturnya bisa diganti
makanan yang lembik atau dicincang yang mudah ditelan bayi seperti bubur
nasi campur, nasi tim halus, dan bubur kacang hijau.
Usahakan untuk mengenalkan beragam jenis
makanan, buah atau sayur pada bayi untuk mendukung asupan nutrisi sang
buah hati seperti protein, Kalsium, Zin, zat besi, vitamin A dan vitamin
C serta folat.
Jika Ibu memberikan MPASI pada bayi usia
6 bulan sesuai jadwal, Ibu akan lebih mudah membentuk pola makan secara
rutin untuk mengoptimalkan perkembangan fisik dan mentalnya.
Ayo Bu, dukung si kecil jadi anak hebat dengan memberikan MPASI sesuai jadwal ya…
Kamis, 02 Juni 2016
SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA
Segenap jajaran ALHAZEN mengucapkan selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankan. Semoga membawa berkah bagi kita semua.
Selama Bulan Puasa, ALHAZEN Daycare maupun ALHAZEN Bimbel tetap membuka pendaftaran. Info lebih lengkap dapat langsung mengunjungi atau menghubungi kami.
Terima kasih
Selama Bulan Puasa, ALHAZEN Daycare maupun ALHAZEN Bimbel tetap membuka pendaftaran. Info lebih lengkap dapat langsung mengunjungi atau menghubungi kami.
Terima kasih
Senin, 24 November 2014
Masalah dan Solusi dalam Pembentukan Karakter Anak (Bagian 3)
25. Paling benar dan paling tahu segalanya
Egosentris
adalah masa alamiah yang terjadi pada anak usia 1-3 tahun. Usia
tersebut adalah masa ketika anak merasa paling benar dan memaksakan
kehendaknya. Tapi entah mengapa ternyata sifat ini terbawa dan masih
banyak dimiliki oleh para orang tua. Contoh ungkapan orang tua, “ah kamu
ini anak bau kencur, tau apa kamu soal hidup.” Atau, “kamu tau nggak,
kalo papa/mama ini sudah banyak makan asam garam kehidupan, jadi nggak
pake kamu nasehatin papa/mama!”. Jika kita memiliki kebiasaan semacam
ini, maka kita membuat proses komunikasi dengan anak mengalami jalan
buntu. Meskipun maksud kita adalah untuk menunjukkan superioritas kita
di depan anak, tapi yang ditangkap anak adalah semacam kesombongan yang
luar biasa, dan tentu saja tak seorang pun mau mendengarkan nasehat
orang yang sombong.
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Seringkali
usia dijadikan acuan tentang banyaknya pengetahuan juga banyaknya
pengalaman. Pada zaman dulu hal ini bisa jadi benar, namun untuk saat
ini, kondisi itu tidak berlaku lagi. Siapa yang lebih banyak mendapatkan
informasi dan mengikuti kegiatan kegiatan, maka dialah yang lebih
banyak tahu dan berpengalaman. Jadi janganlah merasa menjadi orang yang
paling tahu, paling hebat, paling alim. Dengarkanlah setiap masukan yang
datang dari anak kita.
26. Saling melempar tanggung jawab
Mendidik
anak terutama menjadi tanggung jawab orang tua, yaitu ayah dan ibu.
Bila kedua belah pihak merasa kurang bertanggung jawab, maka proses
pendidikan anak akan terasa timpang dan jauh dari berhasil. Celakanya
lagi, bila orang tua sudah mulai merasakan dampak perlawanan dari anak
anaknya, yang sering terjadi malah saling menyalahkan satu sama lain.
Pernyataan yang kerap muncul adalah, “kamu emang nggak becus ngedidik
anak”, dan kemudian dibalas “enak aja lo ngomong begitu, nah kamu
sendiri, selama ini kemana aja?!”. Jika cara ini yang dipertahankan di
keluarga, akankah menyelesaikan masalah? Tunggu saja hasilnya, pasti
orang tua lah yang akan menuai hasilnya, sang anak akan merasa perilaku
buruknya adalah bukan karena kesalahannya, tapi karena ketidak becusan
salah satu dari orang tuanya. Jelas anak kita akan merasa terbela dan
semakin berperilaku buruk.
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Hentikan
saling menyalahkan. Ambillah tanggung jawab kita selaku orang tua
secara berimbang.keberhasilan pendidikan ada di tangan orang tua.
Pendidikan adalah kerja sama tim, da bukan individu. Jangan pakai alasan
tidak ada waktu, semua orang sama sama memiliki waktu 24 jam sehari,
jadi aturlah waktu kita dengan berbagai macam cara dan kompaklah selalu
dengan pasangan kita. Selalu lakukan introspeksi diri sebelum
introspeksi orang lain.
27. Kakak harus selalu mengalah
Di
negeri ini terdapat kebiasaan bahwa anak yang lebih tua harus selalu
mengalah pada saudaranya yang lebih muda. Tampaknya hal itu sudah
menjadi budaya. Tapi sebenarnya, adakah dasar logikanya dan dimana
prinsip keadilannya? Ada satu contoh nyata seperti berikut:
Ada
seorang kakak beradik, kakak bernama Dita dan adik bernama Rafiq.
Neneknya selaku pengasuh utama selalu memarahi Dita ketika Rafiq
menangis. Tanpa mengetahui duduk persoalan serta siapa yang salah dan
benar, si Nenek selalu membela si adik dan melimpahkan kesalahan pada
kakaknya. “Kamu ini gimana sih? Sudah besar kok tidak mau mengalah ama
adiknya.” Begitulah ucapan yang keluar dari mulut si Nenek. Terkadang
dibumbui dengan cubitan pada kakaknya. Apa yang terjadi selanjutnya?
Dita menjadi anak yang tidak memiliki rasa percaya diri. Ia pun mulai
membenci adiknya. Lama kelamaan Dita mulai banyak melawan atas ketidak
adilan ini, dan yang terjadi kemudian adalah kedua bersaudara ini makin
sering bertengkar. Sementara Rafiq yang selalu dibela bela menjadi makin
egois dan makin berani menyakiti kakaknya, selalu merasa benar dan
memberaontak. Sang nenek perlahan lahan menobatkan Radja Ketjil yang
lalim di tengah keluarga ini.
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Anak
harus diajari untuk memahami nilai benar dan salah atas perbuatannya
terlepas dari apakah dia lebih muda atau lebih tua. Nilai benar dan
salah tidak mengenal konteks usia. Benar selalu benar dan salah selalu
salah berapapun usia pelakunya. Berlakulah adil. Ketahuilah informasi
secara lengkap sebelum mengambil keputusan. Jelaskan nilai benar dan
salah pada masing masing anak, buat aturan main yang jelas yang mudah
dipahami oleh anak anak anda.
28. Menghukum secara fisik
Dalam
kondisi emosi, kita cenderung sensitif oleh perilaku anak, dimulai
dengan suara keras, dan kemudian meningkat menjadi tindakan fisik yang
menyakiti anak. Jika kita terbiasa dengan keadaan ini, kita telah
mendidiknya menjadi anak yang kejam dan trengginas, suka menyakiti orang
lain dan membangkang secara destruktif. Perhatikan jika mereka bergaul
dengan teman sebayanya. Percaya atau tidak, anak akan meniru tindakan
kita yang suka memukul. Anak yang suka memukul temannya pada umumnya
adalah anak yang sering dipukuli di rumahnya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan
pernah sekalipun menggunakan hukuman fisik kepada anak, mencubit,
memukul, atau menampar bahkan ada juga yang pakai alat seperti cambuk,
sabuk, rotan, atau sabetan. Gunakanlah kata kata dan dialog, dan jika
cara dialog tidak berhasil maka cobalah evaluasi diri kita. Temukanlah
jenis kebiasaan yang keliru yang selama ini telah kita lakukan dan
menyebabkan anak kita berperilaku seperti ini.
29. Menunda atau membatalkan hukuman
Kita
semua tahu bahaya yang luar biasa dari merokok, mulai dari kanker,
impotensi, sampai gangguan kehamilan dan janin. Tapi mengapa masih
banyak yang tidak peduli dan tetap membandel untuk terus menjadi ahli
hisap? Jelas karena akibat dari rokok itu terjadi kemudian dan bukan
seketika itu juga. Begitu juga dengan anak kita. Jika anda menjanjikan
sebuah konsekuensi hukuman atau sanksi bila anak berperilaku buruk,
jangan menunggu waktu yang terlalu lama, menunda, atau bahkan
membatalkan karena alasan lupa atau kasihan. Bila telah terjadi
kesepakatan antara kita dan anak seperti tidak boleh minta minta
dibelikan permen atau mainan dan ternyata anak mencoba coba untuk
merengek, kita ingatkan kembali pada kepadanya tentang kesepakatan yang
kita buat bersama. Anak biasanya akan berhenti merengek. Namun sayangnya
kietika anak berhenti merengek , kita menganggap masalah susah selesai
dan akhirnya kita menunda atau bahkan membatalkan hukuman entah karena
lupa atau kasihan. Apa akibatnya? Anak akan mempunya anggapan bahwa kita
hanya omong doang, maka mereka akan mempunya tendensi untuk melanggar
kesepakatan karena hukuman tidak dilaksanakan.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jila
kita sudah mempunyai kesepakatan dan anak melanggarnya, maka sanksi
harus dilaksanakan, jika kita kasihan, kita bisa mengurangi sanksinya,
dan usahakan hukumanya jangan bersifat fisik, tapi seperti pengurangan
bobot kesukaan mereka seperti jam bermain, menonton tv, ataupun bermain
video game.
30. Terpancing Emosi
Jika ada keinginannya yang
tidak terpenhi anak sering kali rewel atau merengak, menagis, berguling
dsb, dengan tujuan memancing emosi kita yang apda kahirnya kita marah
atau malah mengalah. Jika kita terpancing oleh emosi anak, anak akan
merasa menang, dan merasa bisa megendalikan orang tuanya. Anak akan
terus berusaha mengulanginya pada kesempatan lain dengan pancingan emosi
yang lebih besar la gi.
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Yang
terbaik adalah diam, tidak bicara, dan tidak menanggapi. Jangan
pedulikan ulah anak kita. Bila anak menangis katakan padanya bahwa
tangisannya tidak akan mengubah keputusan kita. Bila anak tidak menangis
tapi tetap berulah, kita katakan saja bahwa kita akan mempertimbangkan
keputusan kita dengan catatan si anak tidak berulah lagi. Setelah
pernyataan itu kita keluarkan, lakukan aksi diam. Cukup tatap dengan
mata pada anak kita yang berulah, hingga ia berhenti berulah, Bila
proses ini membutuhkan waktu lebih dari 30 menit tabahlah untuk
melakukannya. Dalam proses ini kita jangan malu pada orang yang
memperhatikan kita; dan jangan pula ada orang lain yang berusaha
menolong anak kita yang sedang berulah tadi… SEKALI KITA BERHASIL
MEMBUAT ANAK KITA MENGALAH, MAKA SELANJUTNYA DIA TIDAK AKAN MENGULANGI
UNTUK YANG KEDUA KALINYA.
31. Menghukum Anak Saat Kita Marah
Hal
yang perlu kita perhatikan dan selalu ingat adalah jangan pernah
memberikan sanksi atau hukuman apa pun pada anak ketika emosi kita
sedang memuncak. Pada saat emosi kita sedang tinggi, apa pun yang keluar
dari mulut kita, baik dalam bentuk kata2 maupun hukuman akan cenderung
menyakiti dan menghakimi dan tidak menjadikan anak lebih baik. Kejadin
tersebut akan membekas meski ia telah beranjak dewasa. Anak juga bisa
mendendam pada orang tuanya karena sering mendapatkan perlakuan di luar
batas.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
- Bila kita sedang sangat marah segeralah menjauh dari anak. Pilihlah cara yang tepat untuk bisa menurunkan amarah kita dengan segera.
- Saat marah kita cenderung memberikan hukuman yang seberat2ya pada anak kita, dan hanya akan menimbulkan perlawanan baru yang lebih kuat dari anak kita, sementara tujuan pemberian sanksi adalah untuk menyadarkan anak supaya ia memahami perilaku buruknya. Setelah emosi reda, barulah kita memberikan hukuman yang mendidik dan tepat dengan konteks kesalahan yang diperbuat. Ingat, prinsip hukuman adalah untuk mendidik bukan menyakiti. Pilihlah bentuk sanksi atau hukuman yang mengurangi aktivitas yang disukainya, seperti mengurangi waktu main game, atau bermain sepeda.
32. Mengejek
Orang
tua yang biasa menggoda anaknya, seringkali secara tidak sadar telah
membuat anak menjadi kesal. Dan ketika anak memohon kepada kita untuk
tidak menggodanya, kita malah semakin senang telah berhasil membuatnya
kesal atau malu. Hal ini akan membangun ketidaksukaan anak pada kita dan
yang sering terjadi anak tidak menghargai kita lagi. Mengapa? Karena ia
menganggap kita juga seperti teman2nya yang suka menggodanya,
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Jika
ingin bercanda dengan anak kita, pilihlan materi bercanda yang tidak
membuatnya malu atau yang merendahkan dirinya. Akan jauh lebih baik jika
seolah-olah kitalah yang jadi badut untuk ditertawakan. Anak kita tetap
aka n menghormati kita sesudah acara canda selesai. Jagalah batas2 dan
hindari bercanda yang bisa membuat anak kesal apalagi malu. Bagimana
caranya? Lihat ekspresi anak kita. Apakah kesal dan meminta kita segera
menghentikannya? Bila ya, segeralah hentikan dan jika perlu meminta
maaflah ayas kejadian yang baru terjadi. Katakan bahwa kita tidak
bermaksud merendahkannya dan kita berjanji tidak akan mengulanginya
lagi.
33. Menyindir
Terkadang karena saking marahnya orang
tua sering mengungkapkannya dengan kata2 singkat yang pedas dengan
maksud menyindir, seperti, “Tumben hari gini sudah pulang”, atau
“Sering2 aja pulang malem!” atau”Memang kamu pikir Mama/Papa in satpam
yang jaga pintu tiap malam?”. Kebiasaan ini tidak akan membuat anak kita
menyadari akan perilaku buruknya tapi malah sebaliknya akan mebuat ia
semakin menjadi-jadi dan menjaga jarak dengan kita. Kita telah menyakiti
hatinya dan membuatnya tidak ingin berkomunikasi dengan kita.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Katakanlah
secara langsung apa yang kita inginkan dengan kalimat yang tidak
menyinggung perasaan, memojokkan bahkan menyakiti hatinya. Katakan saja,
“Sayang, Papa/Mama khawatir akan keselamatan kamu lho kalo kamu pulang
terlalu malam”. Dan sejenisnya.
34. Memberi julukan yang buruk
Kebiasaan
memberikan julukan yang buruk pada anak bisa mengakibatkan rasa rendah
diri, tidak percaya diri/mimder, kebencian juga perlawanan. Adakalanya
anak ingin membuktikan kehebatan julukan atau gelar tersebut pada orang
tuanya.
Solusinya
Mengganti julukan buruk dengan yang baik,
seperti, anak baik, anak hebat, anak bijaksana. Jika tidak bisa
menemukannya cukup dengan panggil dengan nama kesukaannya saja.
35. Mengumpan Anak yang Rewel
Pada
saat anak marah, merengek atau menangis, meminta sesuatu de ngan
memaksa, kita biasanya mengalihkan perhatiannya kepada hal atau barang
lain. Hal ini dimaksudkan supaya anak tidak merengek lagi. Namun yang
terjadi malah sebaliknya, rengekan anak semakin menjadi-jadi. Contohnya,
anak menangis karena ia minta dibelikan mainan, Kemusian kita berusaha
membuatnya diam dengan berusaha mengalihkan perhatiannya seperi, ” Tuh
lihat tuh ada kakak pake baju warna apa tuh…”atau” Lihat ini lihat,
gambar apa ya lucu banget?” Ingatlah selalu, pada saat anak kita sedang
fokus pada apa yang diinginkannya, ia akan memancing emosi kita dan
emosinya sendiri akan menjadi sensitif. Anak kita pada umumnya adalah
anak yang cerdas. ia tidak ingin diakihkan ke hal lain jika masalah ini
belum ada kata sepakat penyelesaiannya. Semakin kita berusaha
mengalihkan ke hal lain, semakin marah lah anak kita.
Apa yang sebaiknya dilakukan?
Selesaikan
apa yang diinginkan oleh anak kita dengan membicarakannya dan membuat
kesepakatan di tempat, jika kita belum sempat membuat kesepakatan di
rumah. Katakan secara langsung apa yang kita inginkan terhadap
permintaan anak tesebut, seperti “Papa/Mama belum bisa membelikan mainan
itu saat ini. Jika kamu mau harus menabung lebih dahulu. Nanti
Papa/Mama ajari cara menabung. Bila kamu terus merengak kita tidak jadi
jalan-jalan dan langsung pulang.” Jika kalimat ini yang kita katakan dan
anak kita tetap merengek, segeralah kita pulang meski urusan belanja
belum selesai, Untuk urusan belanja kita masih bisa menundanya. Tapi
jangan sekali-kali menunda dalam mendidik anak.
36. Televisi sebagai agen Pendidikan Anak
Perilaku anak terbentuk karena 4 hal:
- Berdasar kepada siapa yang lebih dulu mengajarkan kepadanya: kita atau TV?
- Oleh siapa yang dia percaya: apakah anak percaya pada kata2 kita atau ketepatan wakyu program2 TV?
- Oleh siapa yang meyampaikannya lebih menyenangkan: apakah kita menasehatinya dengan cara menyenangkan atau program2 TV yang lebih menyenangkan?
- Oleh siapa yang sering menemaninya: kita atau TV?
Apa yang seharusnya kita lakukan?
- Bangun komunikasi dan kedekatan dengan mengevaluasi 4 hal tersebut yang menjadi faktor pembentuk perilaku anak kita.
- Menggantinya dengan kegiatan di rumah atau di luar rumah yang padat bagi anak2nya.
- Gantilah program TV dengan film2 pengetahuan yang lebih mendidik dan menantang mulai dari kartun hingga CD dalam bentuk permainan edukatif.
37. Mengajari Anak untuk Membalas
Sebagian
anak ada yang memiliki kecenderungan suka memukul dan sebagian lagi
menjadi objek penderita dengan lebih banyak menerima pukulan dari rekan
sebayanya. Sebagian orang tua biasanya tidak sabar melihat anak kita
disakiti dan memprovokasi anak kita unutuk membalasnya. Hal ini secara
tidak langsung mengajari anak balas dendam. Sebab pada saat itu emosi
anak sedang sensitif dan apa yang kita ajarkan saat itu akan membekas.
Jangan kaget bila anak kita sering membalas atau membalikkan apa yang
kita sampaikan kepadanya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?:
- Mengajarkan anak untuk menghindari teman-teman yang suka menyakiti.
- Menyampaikan pada orang tua yang bersangkutan bahwa anak kita sering mendapat perlakuan buruk dari anaknya.
- Ajaklah orang tua anak yang suka memukul untuk mengikuti program parenting baik di radio atau media lainnya.
Masalah dan Solusi dalam Pembentukan Karakter Anak (Bagian 2)
14. Marah Yang Berlebihan
Kita seringkali
menyamakan antara mendidik dengan memarahi. Perlu untuk selalu diingat,
memarahi adalah salah satu cara mendidik yang paling buruk. Pada saat
memarahi anak, kita tidak sedang mendidik mereka, melainkan melampiaskan
tumpukan kekesalan kita karena kita tidak bisa mengatasi masalah dengan
baik. Marah juga seringkali hanya berupa upaya untuk melemparkan
kesalahan pada pihak lain [dan biasanya yang lebih lemah, kalo ama yang
lebih kuat ya takut].
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan
pernah bicara pada saat marah! Jadi tahanlah dengan cara yang nyaman
untuk kita lakukan seperti masuk kamar mandi atau pergi menghindar
sehingga amarah mereda. Yang perlu dilakukan adalah bicara “tegas” bukan
bicara “keras”. Bicara yang tegas adalah dengan nada yang datar, dengan
serius dan menatap wajah serta matanya dalam dalam. Bicara tegas adalah
bicara pada saat pikiran kita rasional, sedangkan bicara keras adalah
pada saat pikiran kita dikuasai emosi. Satu contoh lagi yang kurang
baik, pada saat marah biasanya kita emosi dan mengucapkan/melakukan hal
hal yang kelak kita sesali, setelah ini terjadi, biasanya kita akan
menyesal dan berusaha memperbaikinya dengan memberikan dispensasi atau
membolehkan hal hal yang sebelumnya kita larang. Bila hal ini
berlangsung berulang kali, maka anak kita akan selalu berusaha memancing
amarah kita, yang ujung ujungnya si anak menikmati hasilnya. Anak yang
sering dimarahi cenderung tidak jadi lebih baik kok.
15. Gengsi untuk Menyapa
Kita
pasti pernah mengalami bahwa kita terlanjur marah besar pada anak,
biasanya amarah terbawa lebih dari sehari, akibat dari rasa kesal yang
masih tersisa dan rasa gengsi, kita enggan menyapa anak kita. Masing
masing pihak menunggu untuk memulai kembali hubungan yang normal. Apa
yang harus kita lakukan agar komunikasi mencair kembali? Siapa yang
seharusnya memulai? Kita sebagai orangtua lah yang seharusnya memulai
saat anak mulai menunjukkan tanda tanda perdamaian dan mengikuti
keinginan kita. Dengan cara ini kita dapat menunjukkan pada anak bahwa
kita tidak suka pada sikap sang anak, bukan pada pribadinya.
16. Memaklumi yang tidak pada tempatnya
Ini
biasanya terjadi pada kebanyakan orang tua konservatif. Misalnya
melihat anak laki laki yang suka usil, nakal banget dan suka ngacak,
orang tuanya cenderung mengatakan, “Yah… anak cowo emang harus bandel”
atau saat melihat kakak adik lagi jambak jambakan, mamanya bilang
“maklumlah… namanya juga anak anak”. Atau bahkan ketika si anak memukul
teman atau mbaknya, orang tua masih juga sempat berkelit dengan
mengatakan “ya begitu deh, maklumlah namanya juga anak anak. Nggak
sengaja…”. Bila kita selalu memaklumi tindakan keliru yang dilakukan
anak anak, otomatis si anak berpikir perilakunya sudah benar, dan akan
jadi sangat buruk kalau terbawa sampai ke dewasa.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Kita
tidak perlu memaklumi hal yang tidak perlu dimaklumi kok, kita harus
mendidik setiap anak tanpa kecuali sesuai dengan sifat dasarnya. Setiap
anak bisa dididik dengan tegas[ingat: bukan keras] sejak usia 2 tahun.
Semakin dini usianya, semakin mudah untuk dikelola dan diajak kerja
sama. Anak kita akan mau bekerja sama selama kita selalu mengajaknya
dialog dari hati ke hati, tegas, dan konsisten. Ingat, tidak perlu
menunggu hingga usianya beranjak dewasa, karena semakin bertambah usia,
semakin tinggi tingkat kesulitan untuk mengubah perilaku buruknya.
17. Penggunaan istilah yang tidak jelas maksudnya
Seberapa
sering kita sebagai orang tua mengungkapkan pernyataan seperti “Awas
ya, kalau kamu mau diajak sama mama/papa, tidak boleh nakal!” atau,
“awas ya, kalau nanti diajak sama mama/papa, jangan bikin malu mama”,
bisa juga terungkap, “kalo mau jalan jalan ke taman bermain, jangan
macam macam ya”. Nah, tanpa disadari kita seringkali menggunakan istilah
istilah yang sulit dimengerti ataupun bermakna ganda. Istilah ini akan
membingungkan anak kita. dalam benak mereka bertanya apa yang dimaksud
dengan nakal, tingkah laku apa yang termasuk dalam kategori nakal,
begitu pula dengan istilah “jangan macam macam”, perilaku apa yang
termasuk kategori “macam macam”. Selain bingung, mereka juga akan
menebak nebak arti dari istilah istilah tersebut.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Bicaralah
dengan jelas dan spesifik, misalnya “Sayang, kalau kamu mau ikut
mama/papa, tidak boleh minta mainan, permen, dan tidak boleh berteriak
teriak di kasir seperti kemarin ya”. Hal ini penting agar anak
mengetahui batasan batasan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan,
serta jangan lupa menyepakati apa konsekuensinya bila kesepakatan ini
dilanggar.
18. Mengharap perubahan instan
Kita terbiasa
hidup dalam budaya yang serba instant, seperti mie instant, susu
instant, teh instant. Sehingga kita anak berbuat salah, kita sering
ingin sebuah perubahan yang instant pula, misal ketika biasa terlambat
bangun, nggak beresin tempat tidur, sulit dimandikan, kita ingin agar
anak kita berubah total dalan jangka waktu sehari. Apabila kita sering
memaksakan perubahan pada anak kita dalam waku singkat tanpa tahapan
yang wajar, kemungkinan besar anak sulit memenuhinya. Dan ketika ia
gagal dalam memenuhi keinginan kita, ia akan frustasi dan tidak yakin
bisa melakukanannya lagi. Akibatnya ia memilih untuk melakukan
perlawanan seperti banyak bikin alasan, acuh tak acuh, atau marah marah
pada adiknya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika kita
mengharapkan perubahan kebiasaaan pada anak, berikanlah waktu untuk
tahapan tahapan perubahan yang rasional untuk bisa dicapainya. Hindari
target perubahan yang tidak mungkin bisa dicapainya. Bila mungkin,
ajaklah ia untuk melakukan perubahan dari hal yang paling mudah.
Biarkanlah ia memilih hal yang paling mudah menurutnya untuk diubah.
Keberhasilannya untuk melakukan perubahan tersebut memotivasi anak untuk
melakukan perubahan lainnya yang lebih sulit. Puji dan jika perlu
rayakan keberhasilan yang dicapainya, sekecil dan sesederhana apapun
perubahan itu. Hal ini untuk menunjukkan betapa seriusnya perhatian kita
terhadap usaha yang telah dilakukannya. Pusatkan perhatian dan pujian
kita pada usahanya, bukan pada hasilnya.
19. Pendengar yang buruk
Sebagian
besar orang tua adalah pendengar yang buruk bagi anak anaknya.
Benarkah? Bila ada suatu masalah yang terjadi pada anak, orang tua lebih
suka menyela, langsung menasehati tanpa mau bertanya permasalahannya
serta asal usul kejadiannya. Sebagai contoh, anak kita baru saja pulang
sekolah yang mestinya pulangnya siang, dia datang di sore hari. Kita
tidak mendapat keterangan apapun darinya atas keterlambatan tersebut.
Tentu saja kita kesal menunggu dan sekaligus khawatir. Lalu pada saat
anak kita sampai dan masih lelah, kita langsung menyambutnya dengan
serentetan pertanyaan dan omelan. Bahkan setiap kali anak hendak bicara,
kita selalu memotongnya. Akibatnya ia amalah tidak mau bicara dan marah
pada kita. Bila kita tidak berusaha mendengarkan mereka, maka mereka
pun akan bersikap seperti itu pada kita dan akan belajar mengabaikan
kita.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika kita tidak
menghendaki hal ini terjadi, maka mulai saat ini jadilah pendengar yang
baik. Perhatikan setiap ucapannya. Ajukan pertanyaan pertanyaan untuk
menunjukkan ketertarikan kita akan persoalan yang dihadapinya.
20. Selalu menuruti permintaan anak.
Apakah
anak kita adalah anak semata wayang? Atau anak laki laki yang ditunggu
tunggu dari beberapa anak perempuan kakak-kakaknya? Atau mungkin anak
yang sudah bertahun tahun ditunggu tunggu? Fenomena ini seringkali
menjadikan orang tua teramat sayang pada anaknya sehingga ia menerapkan
pola asuh open bar, atau mo apa aja boleh atau dituruti. Seperti Radja
Ketjil, semakin hari tuntutannya semakin aneh dan kuat, jika ini sudah
menjadi kebiasaan akan sulit sekali membendungnya. Anak yang dididik
dengan cara ini akan menjadi anak yang super egois, tidak kenal
toleransi, dan tidak bisa bersosialisasi.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Betapapun
sayangnya kita pada anak, jangan lah pernah memberlakukan pola asuh
seperti ini. Rasa sayang tidak harus di tunjukkan dengan menuruti segala
kemauannya. Jika kita benar sayang, maka kita harus mengajarinya
tentang nilai baik dan buruk, yang benar dan yang salah, yang boleh dan
yang nggak. Jika tidak, rasa sayang kita akan membuat membuatnya jadi
anak yang egois dan ‘semau gue’. Inilah yang dalam bahasa awam sering
disebut anak manja.
21. Terlalu Banyak Larangan
Ini adalah
kebalikan dari kebiasaan di atas. Bila Kita termasuk orang tua yang
berkombinasi Melankolis dan Koleris, kita mesti berhati2 karena biasanya
kombinasi ini menghasilkan jenis orang tua yang “Perfectionist”. Orang
tua jenis ini cenderung ingin menjadikan anak kita seperti apa yang kita
inginkan secara SEMPURNA, kita cenderung membentuk anak kita sesuai
dengan keinginan kita; anak kita harus begini tidak boleh begitu;
dilarang melakukan ini dan itu. Pada saatnya anak tidak tahan lagi
dengan cara kita. Ia pun akan melakukan perlawanan, baik dengan cara
menyakiti diri (jika anak kita tipe sensitive) atau dengan perlawanan
tersembunyi (jika anak kita tipe keras) atau dengan perang terbuka (jika
anak kita tipe ekspresif keras). Oleh karena itu, kurangilah sifat
perfeksionis kita, Berilah izin kepada anak untuk melakukan banyak hal
yang baik dan positif. Berlatihlah untuk selalu berdialog agar kita bisa
melihat dan memahami sudut pandang orang lain. Bangunlah situasi saling
mempercayai antara anak dan kita. Kurangilah jumlah larangan yang
berlebihan dengan meminta pertimbangan pada pasangan kita. Gunakan
kesepakatan2 untuk memberikan batas yang lebih baik. Misal, kamu boleh
keluar tapi jam 9 malam harus sudah tiba di rumah. Jika kemungkinan
pulang terlambat, segera beri tahu Papa/Mama.
22. Terlalu Cepat Menyimpulkan
Ini
adalah gejala lanjutan jika kita sebagai orang tua yang mempunyai
kebiasaan menjadi pendengar yang buruk. Kita cenderung memotong
pembicaraan pada saat anak kita sedang memberi penjelasan, dan segera
menentukan kesimpulan akhir yang biasanya cenderung memojokkan anak
kita. Padahal kesimpulan kita belum tentu benar, dan bahan seandainya
benar, cara seperti ini akan menyakitkan hati anak kita. Seperti contoh
anak yang pulang terlambat. Pada saat anak kita pulag terlambat dan
hendak menjelaskan penyebabnya, kita memotong pembicaraannya dengan
ungkapan, “Sudah! Nggak pake banyak alesan.” Atau “Ah, Papa/Mama tahu,
kamu pasti maen ke tempat itu lagi kan?!”. Jika kita emlakukan kebiasaan
ini terus menerus, anak akan berpikir kita adalah orang tua ST 001
[alias Sok Tau Nomor Satu], yang tidak mau memahami keadaan dan
menyebalkan. Lalu mereka tidak mau bercerita atau berbicara lagi, dan
akibat selanjutnya sang anak akan benar benar melakukan hal hal yang
kita tuduhkan padanya. Ia tidak mau mendengarkan nasehat kita lagi, dan
pada tahapan terburuk, dia akan pergi pada saat kita sedang berbicara
padanya. Pernahkah anda mengalami hal ini?
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan
pernah memotong pembicaraan dan mengambil kesimpulan terlalu dini. Tak
seorang pun yang suka bila pembicaraannya dipotong, apalagi ceritanya
disimpulkan oleh orang lain. Dengarkan, dengarkan, dan dengarkan sambil
memberikan tanggapan positif dan antusias. Ada saatnya kita akan diminta
bicara, tentunya setelah anak kita selesai dengan ceritanya. Bila anak
sudah membuka pertanyaan, “menurut Papa/Mama bagaimana?” artinya ia
sudah siap untuk mendengarkan penuturan atau komentar kita.
23. Mengungkit kesalahan masa lalu
Kebiasan
menjadi pendengar yang buruk dan terlalu cepat menyimpulkan akan
dilanjutkan dengan penutup yang tidak kalah menyakitkan hati anak kita,
yakni dengan mengungkit ungkit catatan kesalahan yang pernah dibuat anak
kita. Contohnya, “Tuh kan Papa/Mama bilang apa? Kamu tidak pernah mau
dengerin sih, sekarang kejadian kan. Makanya dengerin kalau orang tua
ngomong. Dasar kamu emang anak bodo sih.” Kiat berharap dengan
mengungkit kejadian masa lalu, anak akan belajar dari masalah. Namun
yang terjadi adalah sebaliknya, ia akan sakit hati dan berusaha
mengulangi kesalahannya sebagai tindakan balasan dari sakit hatinya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika
kita tidak ingin anak berperilaku buruk lagi, jangan lah diungkit
ungkit masa lalunya. Cukup dengan tatapan mata, jika perlu rangkullah
ia. Ikutlah berempati sampai dia mengakui kesalahan dan kekeliruannya.
Ucapkan pernyataan seperti “manusia itu tempatnya salah dan lupa, semoga
ini menjadi pelajaran berharga buat kamu”, atau “Papa/mama bangga kamu
bisa menemukan hikmah positif dari kejadian ini”. Jika ini yang kita
lakukan, maka selanjutnya dia akan lebih mendengar nasehat kita. Coba
dan buktikanlah!.
24. Suka Membandingkan
Hal yang paling
menyebalkan adalah saat kita dibandingkan dengan orang lain. Bila kita
sedang berada di suatu acara dan bertemu dengan orang yang berpakaian
hampir sama atau berwarna sama, kita merasa tidak nyaman untuk
berdekatan. Apalagi jiak disbanding bandingkan [FTR, saya tidak merasa
seperti ini lho!] Secara psikologis, kita sangat tdiak suka bila
keberadaan kita baik secara fisik atau sifat sifat kita dibandingkan
dengan orang lain. Coba ingat ingatlah pengalaman kita saat ada orang
yang membandingkan kita, bagaimana perasaan kita saat itu? Tetapi
anehnya, kebanyakan orang tua entah kenapa justru sering melakukan hal
ini pada anaknya. Misal membandingkan anak yang malas dengan yang rajin.
Anak yang rapi dengan yang gedabrus. Anak yang cekatan dengan anak yang
lamban. Terutama juga anak yang mendapat nilai tinggi di sekolah dengan
anak yang nilainya rendah. Ungkapan yang sering terdengar biasanya
seperti, “Coba kamu mau rajin belajar kayak adik mu, maka pasti nilai
kamu tidak seperti ini!”. Jika kita tetap melakukan kebiasaan ini, maka
ada beberapa akibat yang langsung kita rasakan; anak kita makin tidak
menukai kita. anak yang dibandingkan akan iri dan dengki dengan si
pembanding. Anak pembanding akan merasa arogan dan tinggi hati.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Tiap
manusia terlahir dengan karakter dan sifat yang unik. Maka jangan
sekali kali membandingkan satu dengan yang lainnya. Catatlah perubahan
perilaku masing masing anak. Jika ingin membandingkan, bandingkanlah
dengan perilaku mereka di masa lalu, ataupun dengan nilai nilai ideal
yang ingin mereka capai. Misalnya, “Eh, biasanya anak papa/mama suka
merapikan tempat tidur, kenapa hari ini nggak ya?”
Masalah dan Solusi dalam Pembentukan Karakter Anak (Bagian 1)
"Mana yang nakal, Mejanya ya?" Suara seorang Ayah lantang sambil
menghampiri balita yang tengah menangis karena terjatuh di dekat meja.
Tak lama kemudian terdengar suara Ayah memukul meja, "buk..buk..", lalu
si Ayahpun berkata dengan bangga... "Udah...udah ayah pukul mejanya, cup
cup yaa..jangan nangis lagi". Apa Anda familiar dengan peristiwa
tersebut? atau Anda pernah melakukannya? Sebetulnya ini adalah kebiasaan
yang buruk karena bisa menghilangkan rasa bertanggungjawab anak di
kemudian hari. Akibatnya, kelak Orangtua akan kesulitan mengatur
perilaku anak, bagaimana cara yang tepat dan apa lagi ya kebiasaan yang
buruk bagi tumbuh kembang anak? Sebaiknya Anda membaca artikel ini
secara lengkap.
1. Mengalihkan Tanggung Jawab
Ilustrasi Ayah
memukul meja di atas adalah kebiasaan pengalihan tanggungjawab.
Kebiasaan ini tampaknya lazim dilakukan. Niat Ayah sih baik, agar anak
berhenti menangis, tapi si Ayah telah salah menempatkan perasaan.
Sebagai orang dewasa, kita sangat tidak ingin dianggap salah oleh orang
lain. Maka, secara tidak sadar, si Ayahpun menyalahkan meja, kursi,
lantai, atau apapun, asal bukan anaknya. Padahal si anak jatuh karena
tubuhnya memang sedang belajar untuk menyeimbangkan diri. Secara
psikologis, hal ini adalah proses penumpulan logika anak sekaligus
melatihnya untuk tidak bertanggungjawab. Akibatnya di waktu dewasa, di
dunia kerja anak sulit mengidentifikasi sebab akibat, akhirnya ia tidak
bisa memberikan solusi yang jitu bagi problem perusahaan. Masalah A,
Solusinya malah Z. Selain itu, ia juga cenderung menyalahkan orang lain
atas kegagalannya, bahkan..menyalahkan kita sebagai orangtuanya. Saat
anak terjatuh adalah momen emas untuk menyadari bahwa ada sebab ada
akibat, sekaligus membangun daya juang serta rasa tanggungjawabnya. Yang
Lebih Baik Dilakukan Saat anak terjatuh lalu menangis, kita harus
mengajarinya bangkit. Bahkan saat kita tidak berkata apa apa pun, anak
akan berusaha bangkit sendiri. Terkadang tangisan anak malah terjadi
karena orangtua terlalu overacting. Sesekali, diam saja dan
berikan anggukan senyum atau berikan tangan Ayah dan Bunda untuk
membantunya bangkit. Bila merasa perlu penekanan, maka Ayah dan Bunda
bisa katakan kepadanya untuk berhati-hati dan bermain lagi. Bila ia
terluka, cukup peluk untuk menghentikan tangisannya dan ajak dia untuk
mengobati lukanya. Tindakan-tindakan ini lebih hemat kata-kata, lebih
hemat tenaga, tapi lebih efektif untuk membentuk prilaku positif.
2. Membohongi Anak
Saat
kecil, anak-anak selalu mendengarkan apa yang kita katakan. Akan tetap
semakin besar, kok anak makin susah dinasihati? makin enggan menurut,
atau malah melawan. Apa anak-anak sudah tidak mempercayai kita lagi?
Jawabannnya mungkin IYA! Coba tengok ke belakang, apakah kita pernah
melakukan kebohongan-kebohongan kecil? Coba simak kisah ini. Mikaela
berusia 1,5 tahun. Setiap ayahnya berangkat kerja, ia selalu menangis
meraung-raung. suatu hari Mikaela tertidur ketika saatnya ayahnya
berangkat kerja. Ternyata, Mikaela sama sekali tidak menangis. Sejak
itu, Ayahnya selalu mengendap-endap saat pergi kerja sehingga Mikaela
tidak menyadarinya. Atau untuk membujuk Mikaela, Ayah berkata bahwa Ayah
hanya pergi sebentar saja, padahal ternyata pulangnya malam sekali.
Contoh lain adalah menggunakan ancaman yang bohong. Misalnya saat Dodi
tidak mau makan, ibupun mengancam Dodi, "kalau nggak mau makan, nanti
nggak boleh main perosotan". Padahal akhirnya boleh juga, lagipula,
tidak ada hubungan antara makan dan main perosotan, kan? Anda familiar
dengan kebiasaan tersebut? bila iya, mungkin inilah awal
ketidakpercayaan anak kepada orangtuanya. Anak tidak lagi percaya dengan
apa yang kita katakan, bahkan anak kehilangan rasa amannya akan
janji-janji yang kita ucapkan
Yang sebaiknya dilakukan: Jujur dan
proporsional dalam berkomunikasi dengan anak. Ungkapkan dengan penuh
kasih sayang. Saat pergi ke kantor, sampaikan apa yang sebenernya dengan
kata-kata yang mudah ia pahami misalnya seperti "Ella, Papa mau pergi
ke kantor dulu ya, nanti sore habie Ella mandi, Papa akan pulang kita
bisa main lagi sama sama"
Mungkin anak tetap menangis, tapi lama
kelamaan dia belajar bahwa Papa memang akan tetap pergi, tapi sore nanti
pasti datang. Ini menciptakan rasa aman dalam dirinya.
3. Mengobral Ancaman dan Omelan
"Raka, awas jangan naik tinggi-tinggi, nanti jatuh loh!"
"Awas jangan maen di lapangan, nanti diculik!"
"Ayo dimakan dong makan siangnya, nanti Ayah/Bunda marah kalau nggak makan!"
"Jangan bandel, nanti dipenjara pak polisi!"
Saat
kita putus asa setelah berbagai cara tidak dituruti anak, ancaman
seringkali menjadi alternatif tindakan. Bedakan antara ancaman dan
konsekuensi. Apabila kita menyampaikannya dengan nada tinggi, tidak
mengubah posisi tubuh kita, apalagi dengan menunjuk-nunjuk anak, kita
tengah mengancam anak. Selain itu, ancaman biasanya tidaklah dibuktikan.
Hanya untuk menakut-nakuti saja. Apalagi kalau mengancam dengan
menggunakan institusi tertentu yang seharusnya menjaga keamanan, semisal
polisi. Padahal, justru anak harus menghampiri polisi saat ketakutan,
bukan sebaliknya. Apabila kita mengubah posisi sehingga mata kita bisa
bertatapan dengan mata anak, mengubah intonasi jadi datar namun tegas,
lalu konsekuensi benar-benar kita jalankan terhadap anak, maka kita
tengan membuat sebuat konsekuensi. Anak sangatlah cerdas, ia mempelajari
pola tingkah laku kita. Sekali dua kali ia temukan kita mengancam
dengan ancaman kosong, maka ia belajar bahwa ancaman orangtua tidaklah
serius. Selain itu, anak yang biasa diancam biasanya tumbuh jadi anak
yang tidak merasa aman. Anak bisa tumbuh jadi anak yang tidak PD atau
sebaliknya, anak yang suka mengganggu dan mengancam orang lain.
Yang sebaiknya dilakukan
Saat
anak melakukan kesalahan serius, coba berhenti dari aktivitas kita,
lalu minta anak untuk datang. Bicara dengan tegas namun tetap lembut,
jelaskan perasaan kita dan tunjukkan prilaku anak yang mana yang harus
diperbaiki serta sepakati konsekuensi yang akan didapat apabila anak
mengulangi prilaku negatif itu lagi, contohnya.
"Nina, Ibu khawatir kalau Nina main terlalu jauh. Kalau mau main agak jauh, ijin dulu ke Ibu ya supaya nanti Ibu temani"
4. Menyerang Pribadi Anak, Bukan Prilakunya
Kerapkali
saat kita sedang capek-capeknya, kita mengomel tak karuan sehingga apa
yang kita bicarakan hanya hardikan demi hardikan. Kita tidak bisa
menyampaikan dengan jelas prilaku apa tepatnya yang tidak kita inginkan
dari anak, misalnya. "Duuuh....kamu kok begitu sih! Mama sebel kamu
begitu lagi begitu lagi". Hal yang sebenarnya terjadi adalah anak pulang
main terlalu sore sehingga ia terlambat mandi atau mengerjakan sesuatu.
Atau saat kita berkata "Ihh..kamu ini anak malas! maen melulu!" Kalau
hal ini dibiasakan, maka anak bisa-bisa merasa bahwa SEMUA yang
dilakukannya salah, dan SEMUA yang dilakukan akan membuat anda kesal.
Akibatnya, anak merasa dia bukan anak yang baik sehingga dia sekalian
saja melakukan hal hal yang tidak benar sehingga Anda menjadi kesal.
Yang Sebaiknya Dilakukan
Anak
bukanlah peramal yang bisa dengan tepat memperkirakan apa yang kita
inginkan. Sebaiknya gunakan kalimat yang spesifik pada prilaku yang
kurang tepat dan fokus memperbaiki di sana. Misalya,
"Riana,
seharusnya Riana sudah pulang sebelum jam 5 Sore. Kalau Riana terlambat
pulang, kamu bisa terlambat mandi dan mengerjakan PR, Riana mengerti,
kan?" Jangan pula membiarkan diri kita larut dalam amarah, apabila anak
sudah menunjukkan gelagat akan memperbaiki sikap, kendalikan diri dan
terima dia kembali. Ini menegaskan bahwa yang Anda tidak suka adalah
prilakunya dan bukan pribadinya.
5. Memberi Dukungan pada Hal yang Salah
Menurut
penelitian otak, otak kita memang lebih memperhatikan hal-hal yang
negatif. Demikian pula yang terjadi dalam dunia orang tua dan anak.
Kerapkali kita lebih tertarik untuk memperhatikan anak, justru saat
mereka berbuat hal yang kurang baik. Misalnya, saat anak bertengkar,
baru kita beranjak dari gadget kita. Atau saat anak merusak sesuatu,
barulah kita memperhatikannya, menasihati bahkan mengomeli. Sedangkan
sebaliknya saat anak menunjukkan prilaku yang baik kita malah
biasa-biasa saja. Anak bisa jadi berpikir bahwa untuk mendapatkan
perhatian kita, mereka perlu berbuat sesuatu yang tidak baik! Nah, susah
kan kalau begini...
Yang Sebaiknya dilakukan
Beri
penghargaan saat mereka berprilaku baik, misalnya saat bermain dengan
rukun, atau mereka mau berbagi, atau hal-hal sederhana seperti saat anak
meletakkan handuk pada tempatnya, misalnya.
Ungkapkan perasaa anda seperti :
"Bunda senang lihat Ade bisa meletakkan handuk di tempatnya sehabis mandi!" Anak anda pasti senang dan akan mengulanginya lagi
6. Merendahkan Diri Sendiri/Merendahkan Pasangan
Apa
yang anda lakukan kalau melihat anak anda bermain Playstation lebih
dari belajar? Mungkin yang sering kita ucapkan pada mereka, “Woy… mati
in tuh PS nya, ntar dimarahin loh sama papa kalo pulang kerja!” Atau
kita ungkapkan dengan pernyataan lain, namun tetap dengan figur yang
mungkin ditakuti oleh anak pada saat itu. Contoh pernyataan ancaman
diatas adalah ketika yang ditakuti adalah figur Papa. Perhatikanlah
kalimat ancaman tersebut. Kita tidak sadar bahwa kita telah mengajarkan
pada anak bahwa yang mampu untuk menghentikan mereka maen ps adalah
bapaknya, artinya figure yang hanya ditakuti adalah sang bapak. Maka
jangan heran kalau jika anak tidak mengindahkan perkataan kita karena
kita tidak mampu menghentikan mereka maen ps.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Siapkanlah
aturan main sebelum kita bicara; setelah siap, dekati anak, tatap
matanya, dan katakan dengan nada serius bahwa kita ingin ia berhenti
main sekarang atau berikan pilihan, misal “Sayang, Papa/Mama ingin kamu
mandi. Kamu mau mandi sekarang atau lima menit lagi?” bila jawabannya
“lima menit lagi Pa/Ma”. Kita jawab kembali, “Baik, kita sepakat setelah
lima menit kamu mandi ya. Tapi jika tidak berhenti setelah lima menit,
dengan terpaksa papa/mama akan simpan PS nya di lemari sampai lusa”.
Nah, persis setelah lima menit, dekati si anak, tatap matanya dan
katakan sudah lima menit, tanpa tawar menawar atau kompromi lagi. Jika
sang anak tidak nurut, segera laksanakan konsekuensinya.
7. Papa dan Mama Tidak Kompak
Mendidik
abak bukan hanya tanggung jawab para ibu atau bapak saja, tapi
keduanya. Orang tua harus memiliki kata sepakat dalam mendidik anak2nya.
Anak dapat dengan mudah menangkap rasa yang menyenangkan dan tidak
menyenangkan bagi dirinya. Misal, seorang Ibu melarang anaknya menonton
TV dan memintanya untuk mengerjakan PR, namun pada saat yang bersamaan,
si bapak membela si anak dengan dalih tidak mengapa nonton TV terus agar
anak tidak stress. Jika hal ini terjadi, anak akan menilai ibunya jahat
dan bapaknya baik, akibatnya setiap kali ibunya memberi perintah, ia
akan mulai melawan dengan berlindung di balik pembelaan bapaknya.
Demikian juga pada kasus sebaliknya. Oleh karena itu, orang tua harus
kompak dalam mendidik anak. Di hadapan anak, jangan sampai berbeda
pendapat untuk hal2 yang berhubungan langsung dengan persoalan mendidik
anak. Pada saat salah satu dari kita sedang mendidik anak, maka pasangan
kita harus mendukungnya. Contoh, ketika si Ibu mendidik anaknya untuk
berlaku baik terhadap si Kakak, dan si Ayah mengatakan ,”Kakak juga sih
yang mulai duluan buat gara2…”. Idealnya, si Ayah mendukung pernyataan,
“Betul kata Mama, Dik. Kakak juga perlu kamu sayang dan hormati….
8.Campur Tangan Kakek, Nenek, Tante, atau Pihak Lain
Pada
saat kita sebagai orang tua sudah berusaha untuk kompak dan sepaham
satu sama lain dalam mendidik anak-anak kita, tiba-tiba ada pihak ke-3
yang muncul dan cenderung membela si anak. Pihak ke-3 yang dimaksud
seperti kakek, nenek, om, tante, atau pihak lain di luar keluarga inti.
Seperti pada kebiasaan ke-7 (Papa dan Mama tidak Kompak), dampak ke anak
tetap negatif bila dalam satu rumah terdapat pihak di luar keluarga
inti yang ikut mendidik pada saat keluarga inti mendidik; Anak akan
cenderung berlindung di balik orang yang membelanya. Anak juga cenderung
melawan orang tuanya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Pastikan
dan yakinkan kepada siapa pun yang tinggal di rumah kita untuk memiliki
kesepakatan dalam mendidik dan tidak ikut campur pada saat proses
pendidikan sedang dilakukan oleh kita sebagai orang tua si anak. Berikan
pengertian sedemikian rupa dengan bahasa yang bisa diterima dengan baik
oleh para pihak ke-3
9. Menakuti Anak
Kebiasaan ini lazim
dilakukan oleh para orang tua pada saat anak menangis dan berusaha untuk
menenangkannya. Kita juga terbiasa mengancam anak untuk mengalihkan
perhatiannya, “Awas ada Pak Satpam, ga boleh beli mainan itu!” Hasilnya
memang anak sering kali berhenti merengek atau menangis, namun secara
tidak sadar kita telah menanamkan rasa takut atau benci pada institusi
atau pihak yang kita sebutkan. Sebaiknya, berkatalah jujur dan berikan
pengertian pada anak seperti kita memberi pengertian kepada orang dewasa
karena sesungguhnya anak2 juga mampu berpikir dewasa. Jika anak tetap
memaksa, katakanlah dengan penuh pengertian dan tataplah matanya, “Kamu
boleh menangis, tapi Papa/Mama tetap tidak akan membelikan permen.”
Biarkan anak kita yang memaksa tadi menangis hingga diam dengan
sendirinya.
10. Ucapan dan Tindakan Tidak Sesuai
Berlaku
konsisten mutlak diperlukan dalam mendidk anak. Konsisten merupakan
keseuaian antara yang dinyatakan dan tidakan. Anak memiliki ingatan yang
tajam terhadap suatu janji, dan ia sanga menghormati orang-orang yang
menepati janji baik untuk beri hadiah atau janji untuk memberi sanksi.
So, jangan pernah mengumbar janji ada anak dengan tujuan untuk
merayunya, agar ia mengikuti permintaan kita seperti segera mandi,
selalu belajar, tidak menonton televisi. Pikirlah terlebih dahulu
sebelum berjanji apakah kita benar-benar bisa memenuhi janji tersebut.
Jika ada janji yang tidak bisa terpenuhi segeralah minta maaf, berikan
alasan yang jujur dan minta dia untuk menentukan apa yang kita bisa
lakukan bersama anak untuk mengganti janji itu.
11. Hadiah untuk Perilaku Buruk Anak
Acapkali
kita tidak konsisten dengan pernyataan yang pernah kita nyatakan. Bila
hal ini terjadi, tanpa kita sadari kita telah mengajari anak untuk
melawan kita. Contoh klasik dan sering terjadi adalah pada saat kita
bersama anak di tempat umum, anak merengek meminta sesuatu dan
rengekennya menjadi teriakan dan ada gerak perlawanan. Anak terus
mencari akal agar keinginnanya dikabulkan, bahkan seringkali membuat
kita sebagai orang tua malu. Pada saat inilah kita seringkali luluh
karena tidak sabar lagi dengan rengekan anak kita. Akhirnya kita
mengiyakan keinginan si Anak. “Ya sudah;kamu ambil satu permennya. Satu
saja ya!” Pernyataan tersebut adalah sebagai hadiah bagi perilaku buruk
si Anak. Anak akan mempelajarinya dna menerapkannya pada kesempatan lain
bahkan mungkin dengan cara yang lebih heboh lagi.
Menghadapi
kondisi seperti ini, tetaplah konsisten; tidak perlu malu atau takut
dikatakan sebagai orang tua yang kikir atau tega. Orang beefikir
demikian belum membaca buku tentang ini dan mengalami masalah yang sama
dengan kita. Ingatlah selalu bahwa kita sedang mendidik anak, Sekali
kite konsisten anak tak akan pernah mencobanya lagi. Tetaplah KONSISTEN
dan pantang menyerah! Apapun alasannya, jangang pernah memberi hadiah
pada perilaku buruk si anak.
12. Merasa Bersalah Karena Tidak Bisa Memberikan yang Terbaik
Kehidupan
metropolitan telah memaksa sebagian besar orang tua banyak menghabiskan
waktu di kantor dan di jalan raya daripada bersama anak. Terbatasnya
waktu inilah yang menyebabkan banyak orang tua merasa bersalah atas
situasi ini. Akibat dari perasaan bersalah ini, kita, para orang tua
menyetujui perilaku buruk anaknya dengan ungkapan yang sering
dilontarkan, “Biarlah dia seperti ini mungkin karena saya juga yang
jarang bertemu dengannya…”. Semakin kita merasa bersalah terhadap
keadaan, semakin banyak kita menyemai perilaku buruk anak kita. Semakin
kita memaklumi perilaku buruk yang diperbuat anak, akan semakin sering
ia melakukannya. Sebagian besar perilaku anak bermasalah yang pernah
saya (penulis) hadapi banyak bersumber dari cara berpikir orang tuanya
yang seperti ini.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Apa pun
yang bisa kita berikan secara benar pada anak kita adalah hal yang
terbaik. Kita tidak bisa membandingkan kondisi sosial ekonomi dan waktu
kita dengan orang lain. Tiap keluarga memiliki masalah yang unik, tidak
sama. Ada orang yang punya kelebihan pada sapek finansial tapi miskin
waktu bertemu dengan anak, dan sebaliknya. Jangan pernah memaklumi hal
yang tidak baik. Lakukanlah pendekatan kualitas jika kita hanya punya
sedikit waktu; gunakan waktu yang minim itu untuk bisa berbagi rasa
sepenuhnya antara sisa2 tenaga kita, memang tidak mudah. Tapi lakukanlah
demi mereka dan keluarga kita, anak akan terbiasa.
13. Mudah menyerah dan pasrah
Setiap
manusia memiliki watak yang berbeda-beda, ada yang lembut dan ada yang
keras. Dominan flegmatis adalah ciri atak yang dimiliki oleh sebagian
orang tua yang kurang tegas, mudah menyerah, selalu takut salah dan
cenderung mengalah, pasrah. Konflik ini biasanya terjadi bila seorang
yang flegmatis mempunyai anak yang berwatak keras. Dalam kondisi kita
sebagai orang tua yang tidak tegas dan mudah menyerah, si anak justru
keras dan lebih tegas. Akibatnya dalam banyak hal, si anak jauh lebih
dominan dan mengatur orang tuanya. Akibat lebih lanjut, orang tua sulit
mengendalikan perilaku anaknya dan cenderung pasrah. Saya [penulis]
sering mendengar ucapan dari para orang tua yang Dominan Flegmatis,
“Duh… anak saya itu memang keras betul… saya sudah nggak sanggup lagi
mengaturnya.” Atau “Biar sajalah apa maunya, saya sudah nggak sanggup
lagi mendidiknya.”.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Belajarlah
dan berusahalah dengan keras untuk menjadi lebih tegas dalam mengambil
keputusan, tingkatkan watak keteguhan hati dan pantang menyerah. Jiak
perlu ambil orang orang yang kita anggap tegas untuk jadi penasihat
harian kita.
Langganan:
Postingan (Atom)