"Mana yang nakal, Mejanya ya?" Suara seorang Ayah lantang sambil
menghampiri balita yang tengah menangis karena terjatuh di dekat meja.
Tak lama kemudian terdengar suara Ayah memukul meja, "buk..buk..", lalu
si Ayahpun berkata dengan bangga... "Udah...udah ayah pukul mejanya, cup
cup yaa..jangan nangis lagi". Apa Anda familiar dengan peristiwa
tersebut? atau Anda pernah melakukannya? Sebetulnya ini adalah kebiasaan
yang buruk karena bisa menghilangkan rasa bertanggungjawab anak di
kemudian hari. Akibatnya, kelak Orangtua akan kesulitan mengatur
perilaku anak, bagaimana cara yang tepat dan apa lagi ya kebiasaan yang
buruk bagi tumbuh kembang anak? Sebaiknya Anda membaca artikel ini
secara lengkap.
1. Mengalihkan Tanggung Jawab
Ilustrasi Ayah
memukul meja di atas adalah kebiasaan pengalihan tanggungjawab.
Kebiasaan ini tampaknya lazim dilakukan. Niat Ayah sih baik, agar anak
berhenti menangis, tapi si Ayah telah salah menempatkan perasaan.
Sebagai orang dewasa, kita sangat tidak ingin dianggap salah oleh orang
lain. Maka, secara tidak sadar, si Ayahpun menyalahkan meja, kursi,
lantai, atau apapun, asal bukan anaknya. Padahal si anak jatuh karena
tubuhnya memang sedang belajar untuk menyeimbangkan diri. Secara
psikologis, hal ini adalah proses penumpulan logika anak sekaligus
melatihnya untuk tidak bertanggungjawab. Akibatnya di waktu dewasa, di
dunia kerja anak sulit mengidentifikasi sebab akibat, akhirnya ia tidak
bisa memberikan solusi yang jitu bagi problem perusahaan. Masalah A,
Solusinya malah Z. Selain itu, ia juga cenderung menyalahkan orang lain
atas kegagalannya, bahkan..menyalahkan kita sebagai orangtuanya. Saat
anak terjatuh adalah momen emas untuk menyadari bahwa ada sebab ada
akibat, sekaligus membangun daya juang serta rasa tanggungjawabnya. Yang
Lebih Baik Dilakukan Saat anak terjatuh lalu menangis, kita harus
mengajarinya bangkit. Bahkan saat kita tidak berkata apa apa pun, anak
akan berusaha bangkit sendiri. Terkadang tangisan anak malah terjadi
karena orangtua terlalu overacting. Sesekali, diam saja dan
berikan anggukan senyum atau berikan tangan Ayah dan Bunda untuk
membantunya bangkit. Bila merasa perlu penekanan, maka Ayah dan Bunda
bisa katakan kepadanya untuk berhati-hati dan bermain lagi. Bila ia
terluka, cukup peluk untuk menghentikan tangisannya dan ajak dia untuk
mengobati lukanya. Tindakan-tindakan ini lebih hemat kata-kata, lebih
hemat tenaga, tapi lebih efektif untuk membentuk prilaku positif.
2. Membohongi Anak
Saat
kecil, anak-anak selalu mendengarkan apa yang kita katakan. Akan tetap
semakin besar, kok anak makin susah dinasihati? makin enggan menurut,
atau malah melawan. Apa anak-anak sudah tidak mempercayai kita lagi?
Jawabannnya mungkin IYA! Coba tengok ke belakang, apakah kita pernah
melakukan kebohongan-kebohongan kecil? Coba simak kisah ini. Mikaela
berusia 1,5 tahun. Setiap ayahnya berangkat kerja, ia selalu menangis
meraung-raung. suatu hari Mikaela tertidur ketika saatnya ayahnya
berangkat kerja. Ternyata, Mikaela sama sekali tidak menangis. Sejak
itu, Ayahnya selalu mengendap-endap saat pergi kerja sehingga Mikaela
tidak menyadarinya. Atau untuk membujuk Mikaela, Ayah berkata bahwa Ayah
hanya pergi sebentar saja, padahal ternyata pulangnya malam sekali.
Contoh lain adalah menggunakan ancaman yang bohong. Misalnya saat Dodi
tidak mau makan, ibupun mengancam Dodi, "kalau nggak mau makan, nanti
nggak boleh main perosotan". Padahal akhirnya boleh juga, lagipula,
tidak ada hubungan antara makan dan main perosotan, kan? Anda familiar
dengan kebiasaan tersebut? bila iya, mungkin inilah awal
ketidakpercayaan anak kepada orangtuanya. Anak tidak lagi percaya dengan
apa yang kita katakan, bahkan anak kehilangan rasa amannya akan
janji-janji yang kita ucapkan
Yang sebaiknya dilakukan: Jujur dan
proporsional dalam berkomunikasi dengan anak. Ungkapkan dengan penuh
kasih sayang. Saat pergi ke kantor, sampaikan apa yang sebenernya dengan
kata-kata yang mudah ia pahami misalnya seperti "Ella, Papa mau pergi
ke kantor dulu ya, nanti sore habie Ella mandi, Papa akan pulang kita
bisa main lagi sama sama"
Mungkin anak tetap menangis, tapi lama
kelamaan dia belajar bahwa Papa memang akan tetap pergi, tapi sore nanti
pasti datang. Ini menciptakan rasa aman dalam dirinya.
3. Mengobral Ancaman dan Omelan
"Raka, awas jangan naik tinggi-tinggi, nanti jatuh loh!"
"Awas jangan maen di lapangan, nanti diculik!"
"Ayo dimakan dong makan siangnya, nanti Ayah/Bunda marah kalau nggak makan!"
"Jangan bandel, nanti dipenjara pak polisi!"
Saat
kita putus asa setelah berbagai cara tidak dituruti anak, ancaman
seringkali menjadi alternatif tindakan. Bedakan antara ancaman dan
konsekuensi. Apabila kita menyampaikannya dengan nada tinggi, tidak
mengubah posisi tubuh kita, apalagi dengan menunjuk-nunjuk anak, kita
tengah mengancam anak. Selain itu, ancaman biasanya tidaklah dibuktikan.
Hanya untuk menakut-nakuti saja. Apalagi kalau mengancam dengan
menggunakan institusi tertentu yang seharusnya menjaga keamanan, semisal
polisi. Padahal, justru anak harus menghampiri polisi saat ketakutan,
bukan sebaliknya. Apabila kita mengubah posisi sehingga mata kita bisa
bertatapan dengan mata anak, mengubah intonasi jadi datar namun tegas,
lalu konsekuensi benar-benar kita jalankan terhadap anak, maka kita
tengan membuat sebuat konsekuensi. Anak sangatlah cerdas, ia mempelajari
pola tingkah laku kita. Sekali dua kali ia temukan kita mengancam
dengan ancaman kosong, maka ia belajar bahwa ancaman orangtua tidaklah
serius. Selain itu, anak yang biasa diancam biasanya tumbuh jadi anak
yang tidak merasa aman. Anak bisa tumbuh jadi anak yang tidak PD atau
sebaliknya, anak yang suka mengganggu dan mengancam orang lain.
Yang sebaiknya dilakukan
Saat
anak melakukan kesalahan serius, coba berhenti dari aktivitas kita,
lalu minta anak untuk datang. Bicara dengan tegas namun tetap lembut,
jelaskan perasaan kita dan tunjukkan prilaku anak yang mana yang harus
diperbaiki serta sepakati konsekuensi yang akan didapat apabila anak
mengulangi prilaku negatif itu lagi, contohnya.
"Nina, Ibu khawatir kalau Nina main terlalu jauh. Kalau mau main agak jauh, ijin dulu ke Ibu ya supaya nanti Ibu temani"
4. Menyerang Pribadi Anak, Bukan Prilakunya
Kerapkali
saat kita sedang capek-capeknya, kita mengomel tak karuan sehingga apa
yang kita bicarakan hanya hardikan demi hardikan. Kita tidak bisa
menyampaikan dengan jelas prilaku apa tepatnya yang tidak kita inginkan
dari anak, misalnya. "Duuuh....kamu kok begitu sih! Mama sebel kamu
begitu lagi begitu lagi". Hal yang sebenarnya terjadi adalah anak pulang
main terlalu sore sehingga ia terlambat mandi atau mengerjakan sesuatu.
Atau saat kita berkata "Ihh..kamu ini anak malas! maen melulu!" Kalau
hal ini dibiasakan, maka anak bisa-bisa merasa bahwa SEMUA yang
dilakukannya salah, dan SEMUA yang dilakukan akan membuat anda kesal.
Akibatnya, anak merasa dia bukan anak yang baik sehingga dia sekalian
saja melakukan hal hal yang tidak benar sehingga Anda menjadi kesal.
Yang Sebaiknya Dilakukan
Anak
bukanlah peramal yang bisa dengan tepat memperkirakan apa yang kita
inginkan. Sebaiknya gunakan kalimat yang spesifik pada prilaku yang
kurang tepat dan fokus memperbaiki di sana. Misalya,
"Riana,
seharusnya Riana sudah pulang sebelum jam 5 Sore. Kalau Riana terlambat
pulang, kamu bisa terlambat mandi dan mengerjakan PR, Riana mengerti,
kan?" Jangan pula membiarkan diri kita larut dalam amarah, apabila anak
sudah menunjukkan gelagat akan memperbaiki sikap, kendalikan diri dan
terima dia kembali. Ini menegaskan bahwa yang Anda tidak suka adalah
prilakunya dan bukan pribadinya.
5. Memberi Dukungan pada Hal yang Salah
Menurut
penelitian otak, otak kita memang lebih memperhatikan hal-hal yang
negatif. Demikian pula yang terjadi dalam dunia orang tua dan anak.
Kerapkali kita lebih tertarik untuk memperhatikan anak, justru saat
mereka berbuat hal yang kurang baik. Misalnya, saat anak bertengkar,
baru kita beranjak dari gadget kita. Atau saat anak merusak sesuatu,
barulah kita memperhatikannya, menasihati bahkan mengomeli. Sedangkan
sebaliknya saat anak menunjukkan prilaku yang baik kita malah
biasa-biasa saja. Anak bisa jadi berpikir bahwa untuk mendapatkan
perhatian kita, mereka perlu berbuat sesuatu yang tidak baik! Nah, susah
kan kalau begini...
Yang Sebaiknya dilakukan
Beri
penghargaan saat mereka berprilaku baik, misalnya saat bermain dengan
rukun, atau mereka mau berbagi, atau hal-hal sederhana seperti saat anak
meletakkan handuk pada tempatnya, misalnya.
Ungkapkan perasaa anda seperti :
"Bunda senang lihat Ade bisa meletakkan handuk di tempatnya sehabis mandi!" Anak anda pasti senang dan akan mengulanginya lagi
6. Merendahkan Diri Sendiri/Merendahkan Pasangan
Apa
yang anda lakukan kalau melihat anak anda bermain Playstation lebih
dari belajar? Mungkin yang sering kita ucapkan pada mereka, “Woy… mati
in tuh PS nya, ntar dimarahin loh sama papa kalo pulang kerja!” Atau
kita ungkapkan dengan pernyataan lain, namun tetap dengan figur yang
mungkin ditakuti oleh anak pada saat itu. Contoh pernyataan ancaman
diatas adalah ketika yang ditakuti adalah figur Papa. Perhatikanlah
kalimat ancaman tersebut. Kita tidak sadar bahwa kita telah mengajarkan
pada anak bahwa yang mampu untuk menghentikan mereka maen ps adalah
bapaknya, artinya figure yang hanya ditakuti adalah sang bapak. Maka
jangan heran kalau jika anak tidak mengindahkan perkataan kita karena
kita tidak mampu menghentikan mereka maen ps.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Siapkanlah
aturan main sebelum kita bicara; setelah siap, dekati anak, tatap
matanya, dan katakan dengan nada serius bahwa kita ingin ia berhenti
main sekarang atau berikan pilihan, misal “Sayang, Papa/Mama ingin kamu
mandi. Kamu mau mandi sekarang atau lima menit lagi?” bila jawabannya
“lima menit lagi Pa/Ma”. Kita jawab kembali, “Baik, kita sepakat setelah
lima menit kamu mandi ya. Tapi jika tidak berhenti setelah lima menit,
dengan terpaksa papa/mama akan simpan PS nya di lemari sampai lusa”.
Nah, persis setelah lima menit, dekati si anak, tatap matanya dan
katakan sudah lima menit, tanpa tawar menawar atau kompromi lagi. Jika
sang anak tidak nurut, segera laksanakan konsekuensinya.
7. Papa dan Mama Tidak Kompak
Mendidik
abak bukan hanya tanggung jawab para ibu atau bapak saja, tapi
keduanya. Orang tua harus memiliki kata sepakat dalam mendidik anak2nya.
Anak dapat dengan mudah menangkap rasa yang menyenangkan dan tidak
menyenangkan bagi dirinya. Misal, seorang Ibu melarang anaknya menonton
TV dan memintanya untuk mengerjakan PR, namun pada saat yang bersamaan,
si bapak membela si anak dengan dalih tidak mengapa nonton TV terus agar
anak tidak stress. Jika hal ini terjadi, anak akan menilai ibunya jahat
dan bapaknya baik, akibatnya setiap kali ibunya memberi perintah, ia
akan mulai melawan dengan berlindung di balik pembelaan bapaknya.
Demikian juga pada kasus sebaliknya. Oleh karena itu, orang tua harus
kompak dalam mendidik anak. Di hadapan anak, jangan sampai berbeda
pendapat untuk hal2 yang berhubungan langsung dengan persoalan mendidik
anak. Pada saat salah satu dari kita sedang mendidik anak, maka pasangan
kita harus mendukungnya. Contoh, ketika si Ibu mendidik anaknya untuk
berlaku baik terhadap si Kakak, dan si Ayah mengatakan ,”Kakak juga sih
yang mulai duluan buat gara2…”. Idealnya, si Ayah mendukung pernyataan,
“Betul kata Mama, Dik. Kakak juga perlu kamu sayang dan hormati….
8.Campur Tangan Kakek, Nenek, Tante, atau Pihak Lain
Pada
saat kita sebagai orang tua sudah berusaha untuk kompak dan sepaham
satu sama lain dalam mendidik anak-anak kita, tiba-tiba ada pihak ke-3
yang muncul dan cenderung membela si anak. Pihak ke-3 yang dimaksud
seperti kakek, nenek, om, tante, atau pihak lain di luar keluarga inti.
Seperti pada kebiasaan ke-7 (Papa dan Mama tidak Kompak), dampak ke anak
tetap negatif bila dalam satu rumah terdapat pihak di luar keluarga
inti yang ikut mendidik pada saat keluarga inti mendidik; Anak akan
cenderung berlindung di balik orang yang membelanya. Anak juga cenderung
melawan orang tuanya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Pastikan
dan yakinkan kepada siapa pun yang tinggal di rumah kita untuk memiliki
kesepakatan dalam mendidik dan tidak ikut campur pada saat proses
pendidikan sedang dilakukan oleh kita sebagai orang tua si anak. Berikan
pengertian sedemikian rupa dengan bahasa yang bisa diterima dengan baik
oleh para pihak ke-3
9. Menakuti Anak
Kebiasaan ini lazim
dilakukan oleh para orang tua pada saat anak menangis dan berusaha untuk
menenangkannya. Kita juga terbiasa mengancam anak untuk mengalihkan
perhatiannya, “Awas ada Pak Satpam, ga boleh beli mainan itu!” Hasilnya
memang anak sering kali berhenti merengek atau menangis, namun secara
tidak sadar kita telah menanamkan rasa takut atau benci pada institusi
atau pihak yang kita sebutkan. Sebaiknya, berkatalah jujur dan berikan
pengertian pada anak seperti kita memberi pengertian kepada orang dewasa
karena sesungguhnya anak2 juga mampu berpikir dewasa. Jika anak tetap
memaksa, katakanlah dengan penuh pengertian dan tataplah matanya, “Kamu
boleh menangis, tapi Papa/Mama tetap tidak akan membelikan permen.”
Biarkan anak kita yang memaksa tadi menangis hingga diam dengan
sendirinya.
10. Ucapan dan Tindakan Tidak Sesuai
Berlaku
konsisten mutlak diperlukan dalam mendidk anak. Konsisten merupakan
keseuaian antara yang dinyatakan dan tidakan. Anak memiliki ingatan yang
tajam terhadap suatu janji, dan ia sanga menghormati orang-orang yang
menepati janji baik untuk beri hadiah atau janji untuk memberi sanksi.
So, jangan pernah mengumbar janji ada anak dengan tujuan untuk
merayunya, agar ia mengikuti permintaan kita seperti segera mandi,
selalu belajar, tidak menonton televisi. Pikirlah terlebih dahulu
sebelum berjanji apakah kita benar-benar bisa memenuhi janji tersebut.
Jika ada janji yang tidak bisa terpenuhi segeralah minta maaf, berikan
alasan yang jujur dan minta dia untuk menentukan apa yang kita bisa
lakukan bersama anak untuk mengganti janji itu.
11. Hadiah untuk Perilaku Buruk Anak
Acapkali
kita tidak konsisten dengan pernyataan yang pernah kita nyatakan. Bila
hal ini terjadi, tanpa kita sadari kita telah mengajari anak untuk
melawan kita. Contoh klasik dan sering terjadi adalah pada saat kita
bersama anak di tempat umum, anak merengek meminta sesuatu dan
rengekennya menjadi teriakan dan ada gerak perlawanan. Anak terus
mencari akal agar keinginnanya dikabulkan, bahkan seringkali membuat
kita sebagai orang tua malu. Pada saat inilah kita seringkali luluh
karena tidak sabar lagi dengan rengekan anak kita. Akhirnya kita
mengiyakan keinginan si Anak. “Ya sudah;kamu ambil satu permennya. Satu
saja ya!” Pernyataan tersebut adalah sebagai hadiah bagi perilaku buruk
si Anak. Anak akan mempelajarinya dna menerapkannya pada kesempatan lain
bahkan mungkin dengan cara yang lebih heboh lagi.
Menghadapi
kondisi seperti ini, tetaplah konsisten; tidak perlu malu atau takut
dikatakan sebagai orang tua yang kikir atau tega. Orang beefikir
demikian belum membaca buku tentang ini dan mengalami masalah yang sama
dengan kita. Ingatlah selalu bahwa kita sedang mendidik anak, Sekali
kite konsisten anak tak akan pernah mencobanya lagi. Tetaplah KONSISTEN
dan pantang menyerah! Apapun alasannya, jangang pernah memberi hadiah
pada perilaku buruk si anak.
12. Merasa Bersalah Karena Tidak Bisa Memberikan yang Terbaik
Kehidupan
metropolitan telah memaksa sebagian besar orang tua banyak menghabiskan
waktu di kantor dan di jalan raya daripada bersama anak. Terbatasnya
waktu inilah yang menyebabkan banyak orang tua merasa bersalah atas
situasi ini. Akibat dari perasaan bersalah ini, kita, para orang tua
menyetujui perilaku buruk anaknya dengan ungkapan yang sering
dilontarkan, “Biarlah dia seperti ini mungkin karena saya juga yang
jarang bertemu dengannya…”. Semakin kita merasa bersalah terhadap
keadaan, semakin banyak kita menyemai perilaku buruk anak kita. Semakin
kita memaklumi perilaku buruk yang diperbuat anak, akan semakin sering
ia melakukannya. Sebagian besar perilaku anak bermasalah yang pernah
saya (penulis) hadapi banyak bersumber dari cara berpikir orang tuanya
yang seperti ini.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Apa pun
yang bisa kita berikan secara benar pada anak kita adalah hal yang
terbaik. Kita tidak bisa membandingkan kondisi sosial ekonomi dan waktu
kita dengan orang lain. Tiap keluarga memiliki masalah yang unik, tidak
sama. Ada orang yang punya kelebihan pada sapek finansial tapi miskin
waktu bertemu dengan anak, dan sebaliknya. Jangan pernah memaklumi hal
yang tidak baik. Lakukanlah pendekatan kualitas jika kita hanya punya
sedikit waktu; gunakan waktu yang minim itu untuk bisa berbagi rasa
sepenuhnya antara sisa2 tenaga kita, memang tidak mudah. Tapi lakukanlah
demi mereka dan keluarga kita, anak akan terbiasa.
13. Mudah menyerah dan pasrah
Setiap
manusia memiliki watak yang berbeda-beda, ada yang lembut dan ada yang
keras. Dominan flegmatis adalah ciri atak yang dimiliki oleh sebagian
orang tua yang kurang tegas, mudah menyerah, selalu takut salah dan
cenderung mengalah, pasrah. Konflik ini biasanya terjadi bila seorang
yang flegmatis mempunyai anak yang berwatak keras. Dalam kondisi kita
sebagai orang tua yang tidak tegas dan mudah menyerah, si anak justru
keras dan lebih tegas. Akibatnya dalam banyak hal, si anak jauh lebih
dominan dan mengatur orang tuanya. Akibat lebih lanjut, orang tua sulit
mengendalikan perilaku anaknya dan cenderung pasrah. Saya [penulis]
sering mendengar ucapan dari para orang tua yang Dominan Flegmatis,
“Duh… anak saya itu memang keras betul… saya sudah nggak sanggup lagi
mengaturnya.” Atau “Biar sajalah apa maunya, saya sudah nggak sanggup
lagi mendidiknya.”.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Belajarlah
dan berusahalah dengan keras untuk menjadi lebih tegas dalam mengambil
keputusan, tingkatkan watak keteguhan hati dan pantang menyerah. Jiak
perlu ambil orang orang yang kita anggap tegas untuk jadi penasihat
harian kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar