14. Marah Yang Berlebihan
Kita seringkali
menyamakan antara mendidik dengan memarahi. Perlu untuk selalu diingat,
memarahi adalah salah satu cara mendidik yang paling buruk. Pada saat
memarahi anak, kita tidak sedang mendidik mereka, melainkan melampiaskan
tumpukan kekesalan kita karena kita tidak bisa mengatasi masalah dengan
baik. Marah juga seringkali hanya berupa upaya untuk melemparkan
kesalahan pada pihak lain [dan biasanya yang lebih lemah, kalo ama yang
lebih kuat ya takut].
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan
pernah bicara pada saat marah! Jadi tahanlah dengan cara yang nyaman
untuk kita lakukan seperti masuk kamar mandi atau pergi menghindar
sehingga amarah mereda. Yang perlu dilakukan adalah bicara “tegas” bukan
bicara “keras”. Bicara yang tegas adalah dengan nada yang datar, dengan
serius dan menatap wajah serta matanya dalam dalam. Bicara tegas adalah
bicara pada saat pikiran kita rasional, sedangkan bicara keras adalah
pada saat pikiran kita dikuasai emosi. Satu contoh lagi yang kurang
baik, pada saat marah biasanya kita emosi dan mengucapkan/melakukan hal
hal yang kelak kita sesali, setelah ini terjadi, biasanya kita akan
menyesal dan berusaha memperbaikinya dengan memberikan dispensasi atau
membolehkan hal hal yang sebelumnya kita larang. Bila hal ini
berlangsung berulang kali, maka anak kita akan selalu berusaha memancing
amarah kita, yang ujung ujungnya si anak menikmati hasilnya. Anak yang
sering dimarahi cenderung tidak jadi lebih baik kok.
15. Gengsi untuk Menyapa
Kita
pasti pernah mengalami bahwa kita terlanjur marah besar pada anak,
biasanya amarah terbawa lebih dari sehari, akibat dari rasa kesal yang
masih tersisa dan rasa gengsi, kita enggan menyapa anak kita. Masing
masing pihak menunggu untuk memulai kembali hubungan yang normal. Apa
yang harus kita lakukan agar komunikasi mencair kembali? Siapa yang
seharusnya memulai? Kita sebagai orangtua lah yang seharusnya memulai
saat anak mulai menunjukkan tanda tanda perdamaian dan mengikuti
keinginan kita. Dengan cara ini kita dapat menunjukkan pada anak bahwa
kita tidak suka pada sikap sang anak, bukan pada pribadinya.
16. Memaklumi yang tidak pada tempatnya
Ini
biasanya terjadi pada kebanyakan orang tua konservatif. Misalnya
melihat anak laki laki yang suka usil, nakal banget dan suka ngacak,
orang tuanya cenderung mengatakan, “Yah… anak cowo emang harus bandel”
atau saat melihat kakak adik lagi jambak jambakan, mamanya bilang
“maklumlah… namanya juga anak anak”. Atau bahkan ketika si anak memukul
teman atau mbaknya, orang tua masih juga sempat berkelit dengan
mengatakan “ya begitu deh, maklumlah namanya juga anak anak. Nggak
sengaja…”. Bila kita selalu memaklumi tindakan keliru yang dilakukan
anak anak, otomatis si anak berpikir perilakunya sudah benar, dan akan
jadi sangat buruk kalau terbawa sampai ke dewasa.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Kita
tidak perlu memaklumi hal yang tidak perlu dimaklumi kok, kita harus
mendidik setiap anak tanpa kecuali sesuai dengan sifat dasarnya. Setiap
anak bisa dididik dengan tegas[ingat: bukan keras] sejak usia 2 tahun.
Semakin dini usianya, semakin mudah untuk dikelola dan diajak kerja
sama. Anak kita akan mau bekerja sama selama kita selalu mengajaknya
dialog dari hati ke hati, tegas, dan konsisten. Ingat, tidak perlu
menunggu hingga usianya beranjak dewasa, karena semakin bertambah usia,
semakin tinggi tingkat kesulitan untuk mengubah perilaku buruknya.
17. Penggunaan istilah yang tidak jelas maksudnya
Seberapa
sering kita sebagai orang tua mengungkapkan pernyataan seperti “Awas
ya, kalau kamu mau diajak sama mama/papa, tidak boleh nakal!” atau,
“awas ya, kalau nanti diajak sama mama/papa, jangan bikin malu mama”,
bisa juga terungkap, “kalo mau jalan jalan ke taman bermain, jangan
macam macam ya”. Nah, tanpa disadari kita seringkali menggunakan istilah
istilah yang sulit dimengerti ataupun bermakna ganda. Istilah ini akan
membingungkan anak kita. dalam benak mereka bertanya apa yang dimaksud
dengan nakal, tingkah laku apa yang termasuk dalam kategori nakal,
begitu pula dengan istilah “jangan macam macam”, perilaku apa yang
termasuk kategori “macam macam”. Selain bingung, mereka juga akan
menebak nebak arti dari istilah istilah tersebut.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Bicaralah
dengan jelas dan spesifik, misalnya “Sayang, kalau kamu mau ikut
mama/papa, tidak boleh minta mainan, permen, dan tidak boleh berteriak
teriak di kasir seperti kemarin ya”. Hal ini penting agar anak
mengetahui batasan batasan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan,
serta jangan lupa menyepakati apa konsekuensinya bila kesepakatan ini
dilanggar.
18. Mengharap perubahan instan
Kita terbiasa
hidup dalam budaya yang serba instant, seperti mie instant, susu
instant, teh instant. Sehingga kita anak berbuat salah, kita sering
ingin sebuah perubahan yang instant pula, misal ketika biasa terlambat
bangun, nggak beresin tempat tidur, sulit dimandikan, kita ingin agar
anak kita berubah total dalan jangka waktu sehari. Apabila kita sering
memaksakan perubahan pada anak kita dalam waku singkat tanpa tahapan
yang wajar, kemungkinan besar anak sulit memenuhinya. Dan ketika ia
gagal dalam memenuhi keinginan kita, ia akan frustasi dan tidak yakin
bisa melakukanannya lagi. Akibatnya ia memilih untuk melakukan
perlawanan seperti banyak bikin alasan, acuh tak acuh, atau marah marah
pada adiknya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika kita
mengharapkan perubahan kebiasaaan pada anak, berikanlah waktu untuk
tahapan tahapan perubahan yang rasional untuk bisa dicapainya. Hindari
target perubahan yang tidak mungkin bisa dicapainya. Bila mungkin,
ajaklah ia untuk melakukan perubahan dari hal yang paling mudah.
Biarkanlah ia memilih hal yang paling mudah menurutnya untuk diubah.
Keberhasilannya untuk melakukan perubahan tersebut memotivasi anak untuk
melakukan perubahan lainnya yang lebih sulit. Puji dan jika perlu
rayakan keberhasilan yang dicapainya, sekecil dan sesederhana apapun
perubahan itu. Hal ini untuk menunjukkan betapa seriusnya perhatian kita
terhadap usaha yang telah dilakukannya. Pusatkan perhatian dan pujian
kita pada usahanya, bukan pada hasilnya.
19. Pendengar yang buruk
Sebagian
besar orang tua adalah pendengar yang buruk bagi anak anaknya.
Benarkah? Bila ada suatu masalah yang terjadi pada anak, orang tua lebih
suka menyela, langsung menasehati tanpa mau bertanya permasalahannya
serta asal usul kejadiannya. Sebagai contoh, anak kita baru saja pulang
sekolah yang mestinya pulangnya siang, dia datang di sore hari. Kita
tidak mendapat keterangan apapun darinya atas keterlambatan tersebut.
Tentu saja kita kesal menunggu dan sekaligus khawatir. Lalu pada saat
anak kita sampai dan masih lelah, kita langsung menyambutnya dengan
serentetan pertanyaan dan omelan. Bahkan setiap kali anak hendak bicara,
kita selalu memotongnya. Akibatnya ia amalah tidak mau bicara dan marah
pada kita. Bila kita tidak berusaha mendengarkan mereka, maka mereka
pun akan bersikap seperti itu pada kita dan akan belajar mengabaikan
kita.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika kita tidak
menghendaki hal ini terjadi, maka mulai saat ini jadilah pendengar yang
baik. Perhatikan setiap ucapannya. Ajukan pertanyaan pertanyaan untuk
menunjukkan ketertarikan kita akan persoalan yang dihadapinya.
20. Selalu menuruti permintaan anak.
Apakah
anak kita adalah anak semata wayang? Atau anak laki laki yang ditunggu
tunggu dari beberapa anak perempuan kakak-kakaknya? Atau mungkin anak
yang sudah bertahun tahun ditunggu tunggu? Fenomena ini seringkali
menjadikan orang tua teramat sayang pada anaknya sehingga ia menerapkan
pola asuh open bar, atau mo apa aja boleh atau dituruti. Seperti Radja
Ketjil, semakin hari tuntutannya semakin aneh dan kuat, jika ini sudah
menjadi kebiasaan akan sulit sekali membendungnya. Anak yang dididik
dengan cara ini akan menjadi anak yang super egois, tidak kenal
toleransi, dan tidak bisa bersosialisasi.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Betapapun
sayangnya kita pada anak, jangan lah pernah memberlakukan pola asuh
seperti ini. Rasa sayang tidak harus di tunjukkan dengan menuruti segala
kemauannya. Jika kita benar sayang, maka kita harus mengajarinya
tentang nilai baik dan buruk, yang benar dan yang salah, yang boleh dan
yang nggak. Jika tidak, rasa sayang kita akan membuat membuatnya jadi
anak yang egois dan ‘semau gue’. Inilah yang dalam bahasa awam sering
disebut anak manja.
21. Terlalu Banyak Larangan
Ini adalah
kebalikan dari kebiasaan di atas. Bila Kita termasuk orang tua yang
berkombinasi Melankolis dan Koleris, kita mesti berhati2 karena biasanya
kombinasi ini menghasilkan jenis orang tua yang “Perfectionist”. Orang
tua jenis ini cenderung ingin menjadikan anak kita seperti apa yang kita
inginkan secara SEMPURNA, kita cenderung membentuk anak kita sesuai
dengan keinginan kita; anak kita harus begini tidak boleh begitu;
dilarang melakukan ini dan itu. Pada saatnya anak tidak tahan lagi
dengan cara kita. Ia pun akan melakukan perlawanan, baik dengan cara
menyakiti diri (jika anak kita tipe sensitive) atau dengan perlawanan
tersembunyi (jika anak kita tipe keras) atau dengan perang terbuka (jika
anak kita tipe ekspresif keras). Oleh karena itu, kurangilah sifat
perfeksionis kita, Berilah izin kepada anak untuk melakukan banyak hal
yang baik dan positif. Berlatihlah untuk selalu berdialog agar kita bisa
melihat dan memahami sudut pandang orang lain. Bangunlah situasi saling
mempercayai antara anak dan kita. Kurangilah jumlah larangan yang
berlebihan dengan meminta pertimbangan pada pasangan kita. Gunakan
kesepakatan2 untuk memberikan batas yang lebih baik. Misal, kamu boleh
keluar tapi jam 9 malam harus sudah tiba di rumah. Jika kemungkinan
pulang terlambat, segera beri tahu Papa/Mama.
22. Terlalu Cepat Menyimpulkan
Ini
adalah gejala lanjutan jika kita sebagai orang tua yang mempunyai
kebiasaan menjadi pendengar yang buruk. Kita cenderung memotong
pembicaraan pada saat anak kita sedang memberi penjelasan, dan segera
menentukan kesimpulan akhir yang biasanya cenderung memojokkan anak
kita. Padahal kesimpulan kita belum tentu benar, dan bahan seandainya
benar, cara seperti ini akan menyakitkan hati anak kita. Seperti contoh
anak yang pulang terlambat. Pada saat anak kita pulag terlambat dan
hendak menjelaskan penyebabnya, kita memotong pembicaraannya dengan
ungkapan, “Sudah! Nggak pake banyak alesan.” Atau “Ah, Papa/Mama tahu,
kamu pasti maen ke tempat itu lagi kan?!”. Jika kita emlakukan kebiasaan
ini terus menerus, anak akan berpikir kita adalah orang tua ST 001
[alias Sok Tau Nomor Satu], yang tidak mau memahami keadaan dan
menyebalkan. Lalu mereka tidak mau bercerita atau berbicara lagi, dan
akibat selanjutnya sang anak akan benar benar melakukan hal hal yang
kita tuduhkan padanya. Ia tidak mau mendengarkan nasehat kita lagi, dan
pada tahapan terburuk, dia akan pergi pada saat kita sedang berbicara
padanya. Pernahkah anda mengalami hal ini?
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan
pernah memotong pembicaraan dan mengambil kesimpulan terlalu dini. Tak
seorang pun yang suka bila pembicaraannya dipotong, apalagi ceritanya
disimpulkan oleh orang lain. Dengarkan, dengarkan, dan dengarkan sambil
memberikan tanggapan positif dan antusias. Ada saatnya kita akan diminta
bicara, tentunya setelah anak kita selesai dengan ceritanya. Bila anak
sudah membuka pertanyaan, “menurut Papa/Mama bagaimana?” artinya ia
sudah siap untuk mendengarkan penuturan atau komentar kita.
23. Mengungkit kesalahan masa lalu
Kebiasan
menjadi pendengar yang buruk dan terlalu cepat menyimpulkan akan
dilanjutkan dengan penutup yang tidak kalah menyakitkan hati anak kita,
yakni dengan mengungkit ungkit catatan kesalahan yang pernah dibuat anak
kita. Contohnya, “Tuh kan Papa/Mama bilang apa? Kamu tidak pernah mau
dengerin sih, sekarang kejadian kan. Makanya dengerin kalau orang tua
ngomong. Dasar kamu emang anak bodo sih.” Kiat berharap dengan
mengungkit kejadian masa lalu, anak akan belajar dari masalah. Namun
yang terjadi adalah sebaliknya, ia akan sakit hati dan berusaha
mengulangi kesalahannya sebagai tindakan balasan dari sakit hatinya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika
kita tidak ingin anak berperilaku buruk lagi, jangan lah diungkit
ungkit masa lalunya. Cukup dengan tatapan mata, jika perlu rangkullah
ia. Ikutlah berempati sampai dia mengakui kesalahan dan kekeliruannya.
Ucapkan pernyataan seperti “manusia itu tempatnya salah dan lupa, semoga
ini menjadi pelajaran berharga buat kamu”, atau “Papa/mama bangga kamu
bisa menemukan hikmah positif dari kejadian ini”. Jika ini yang kita
lakukan, maka selanjutnya dia akan lebih mendengar nasehat kita. Coba
dan buktikanlah!.
24. Suka Membandingkan
Hal yang paling
menyebalkan adalah saat kita dibandingkan dengan orang lain. Bila kita
sedang berada di suatu acara dan bertemu dengan orang yang berpakaian
hampir sama atau berwarna sama, kita merasa tidak nyaman untuk
berdekatan. Apalagi jiak disbanding bandingkan [FTR, saya tidak merasa
seperti ini lho!] Secara psikologis, kita sangat tdiak suka bila
keberadaan kita baik secara fisik atau sifat sifat kita dibandingkan
dengan orang lain. Coba ingat ingatlah pengalaman kita saat ada orang
yang membandingkan kita, bagaimana perasaan kita saat itu? Tetapi
anehnya, kebanyakan orang tua entah kenapa justru sering melakukan hal
ini pada anaknya. Misal membandingkan anak yang malas dengan yang rajin.
Anak yang rapi dengan yang gedabrus. Anak yang cekatan dengan anak yang
lamban. Terutama juga anak yang mendapat nilai tinggi di sekolah dengan
anak yang nilainya rendah. Ungkapan yang sering terdengar biasanya
seperti, “Coba kamu mau rajin belajar kayak adik mu, maka pasti nilai
kamu tidak seperti ini!”. Jika kita tetap melakukan kebiasaan ini, maka
ada beberapa akibat yang langsung kita rasakan; anak kita makin tidak
menukai kita. anak yang dibandingkan akan iri dan dengki dengan si
pembanding. Anak pembanding akan merasa arogan dan tinggi hati.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Tiap
manusia terlahir dengan karakter dan sifat yang unik. Maka jangan
sekali kali membandingkan satu dengan yang lainnya. Catatlah perubahan
perilaku masing masing anak. Jika ingin membandingkan, bandingkanlah
dengan perilaku mereka di masa lalu, ataupun dengan nilai nilai ideal
yang ingin mereka capai. Misalnya, “Eh, biasanya anak papa/mama suka
merapikan tempat tidur, kenapa hari ini nggak ya?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar