25. Paling benar dan paling tahu segalanya
Egosentris
adalah masa alamiah yang terjadi pada anak usia 1-3 tahun. Usia
tersebut adalah masa ketika anak merasa paling benar dan memaksakan
kehendaknya. Tapi entah mengapa ternyata sifat ini terbawa dan masih
banyak dimiliki oleh para orang tua. Contoh ungkapan orang tua, “ah kamu
ini anak bau kencur, tau apa kamu soal hidup.” Atau, “kamu tau nggak,
kalo papa/mama ini sudah banyak makan asam garam kehidupan, jadi nggak
pake kamu nasehatin papa/mama!”. Jika kita memiliki kebiasaan semacam
ini, maka kita membuat proses komunikasi dengan anak mengalami jalan
buntu. Meskipun maksud kita adalah untuk menunjukkan superioritas kita
di depan anak, tapi yang ditangkap anak adalah semacam kesombongan yang
luar biasa, dan tentu saja tak seorang pun mau mendengarkan nasehat
orang yang sombong.
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Seringkali
usia dijadikan acuan tentang banyaknya pengetahuan juga banyaknya
pengalaman. Pada zaman dulu hal ini bisa jadi benar, namun untuk saat
ini, kondisi itu tidak berlaku lagi. Siapa yang lebih banyak mendapatkan
informasi dan mengikuti kegiatan kegiatan, maka dialah yang lebih
banyak tahu dan berpengalaman. Jadi janganlah merasa menjadi orang yang
paling tahu, paling hebat, paling alim. Dengarkanlah setiap masukan yang
datang dari anak kita.
26. Saling melempar tanggung jawab
Mendidik
anak terutama menjadi tanggung jawab orang tua, yaitu ayah dan ibu.
Bila kedua belah pihak merasa kurang bertanggung jawab, maka proses
pendidikan anak akan terasa timpang dan jauh dari berhasil. Celakanya
lagi, bila orang tua sudah mulai merasakan dampak perlawanan dari anak
anaknya, yang sering terjadi malah saling menyalahkan satu sama lain.
Pernyataan yang kerap muncul adalah, “kamu emang nggak becus ngedidik
anak”, dan kemudian dibalas “enak aja lo ngomong begitu, nah kamu
sendiri, selama ini kemana aja?!”. Jika cara ini yang dipertahankan di
keluarga, akankah menyelesaikan masalah? Tunggu saja hasilnya, pasti
orang tua lah yang akan menuai hasilnya, sang anak akan merasa perilaku
buruknya adalah bukan karena kesalahannya, tapi karena ketidak becusan
salah satu dari orang tuanya. Jelas anak kita akan merasa terbela dan
semakin berperilaku buruk.
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Hentikan
saling menyalahkan. Ambillah tanggung jawab kita selaku orang tua
secara berimbang.keberhasilan pendidikan ada di tangan orang tua.
Pendidikan adalah kerja sama tim, da bukan individu. Jangan pakai alasan
tidak ada waktu, semua orang sama sama memiliki waktu 24 jam sehari,
jadi aturlah waktu kita dengan berbagai macam cara dan kompaklah selalu
dengan pasangan kita. Selalu lakukan introspeksi diri sebelum
introspeksi orang lain.
27. Kakak harus selalu mengalah
Di
negeri ini terdapat kebiasaan bahwa anak yang lebih tua harus selalu
mengalah pada saudaranya yang lebih muda. Tampaknya hal itu sudah
menjadi budaya. Tapi sebenarnya, adakah dasar logikanya dan dimana
prinsip keadilannya? Ada satu contoh nyata seperti berikut:
Ada
seorang kakak beradik, kakak bernama Dita dan adik bernama Rafiq.
Neneknya selaku pengasuh utama selalu memarahi Dita ketika Rafiq
menangis. Tanpa mengetahui duduk persoalan serta siapa yang salah dan
benar, si Nenek selalu membela si adik dan melimpahkan kesalahan pada
kakaknya. “Kamu ini gimana sih? Sudah besar kok tidak mau mengalah ama
adiknya.” Begitulah ucapan yang keluar dari mulut si Nenek. Terkadang
dibumbui dengan cubitan pada kakaknya. Apa yang terjadi selanjutnya?
Dita menjadi anak yang tidak memiliki rasa percaya diri. Ia pun mulai
membenci adiknya. Lama kelamaan Dita mulai banyak melawan atas ketidak
adilan ini, dan yang terjadi kemudian adalah kedua bersaudara ini makin
sering bertengkar. Sementara Rafiq yang selalu dibela bela menjadi makin
egois dan makin berani menyakiti kakaknya, selalu merasa benar dan
memberaontak. Sang nenek perlahan lahan menobatkan Radja Ketjil yang
lalim di tengah keluarga ini.
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Anak
harus diajari untuk memahami nilai benar dan salah atas perbuatannya
terlepas dari apakah dia lebih muda atau lebih tua. Nilai benar dan
salah tidak mengenal konteks usia. Benar selalu benar dan salah selalu
salah berapapun usia pelakunya. Berlakulah adil. Ketahuilah informasi
secara lengkap sebelum mengambil keputusan. Jelaskan nilai benar dan
salah pada masing masing anak, buat aturan main yang jelas yang mudah
dipahami oleh anak anak anda.
28. Menghukum secara fisik
Dalam
kondisi emosi, kita cenderung sensitif oleh perilaku anak, dimulai
dengan suara keras, dan kemudian meningkat menjadi tindakan fisik yang
menyakiti anak. Jika kita terbiasa dengan keadaan ini, kita telah
mendidiknya menjadi anak yang kejam dan trengginas, suka menyakiti orang
lain dan membangkang secara destruktif. Perhatikan jika mereka bergaul
dengan teman sebayanya. Percaya atau tidak, anak akan meniru tindakan
kita yang suka memukul. Anak yang suka memukul temannya pada umumnya
adalah anak yang sering dipukuli di rumahnya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan
pernah sekalipun menggunakan hukuman fisik kepada anak, mencubit,
memukul, atau menampar bahkan ada juga yang pakai alat seperti cambuk,
sabuk, rotan, atau sabetan. Gunakanlah kata kata dan dialog, dan jika
cara dialog tidak berhasil maka cobalah evaluasi diri kita. Temukanlah
jenis kebiasaan yang keliru yang selama ini telah kita lakukan dan
menyebabkan anak kita berperilaku seperti ini.
29. Menunda atau membatalkan hukuman
Kita
semua tahu bahaya yang luar biasa dari merokok, mulai dari kanker,
impotensi, sampai gangguan kehamilan dan janin. Tapi mengapa masih
banyak yang tidak peduli dan tetap membandel untuk terus menjadi ahli
hisap? Jelas karena akibat dari rokok itu terjadi kemudian dan bukan
seketika itu juga. Begitu juga dengan anak kita. Jika anda menjanjikan
sebuah konsekuensi hukuman atau sanksi bila anak berperilaku buruk,
jangan menunggu waktu yang terlalu lama, menunda, atau bahkan
membatalkan karena alasan lupa atau kasihan. Bila telah terjadi
kesepakatan antara kita dan anak seperti tidak boleh minta minta
dibelikan permen atau mainan dan ternyata anak mencoba coba untuk
merengek, kita ingatkan kembali pada kepadanya tentang kesepakatan yang
kita buat bersama. Anak biasanya akan berhenti merengek. Namun sayangnya
kietika anak berhenti merengek , kita menganggap masalah susah selesai
dan akhirnya kita menunda atau bahkan membatalkan hukuman entah karena
lupa atau kasihan. Apa akibatnya? Anak akan mempunya anggapan bahwa kita
hanya omong doang, maka mereka akan mempunya tendensi untuk melanggar
kesepakatan karena hukuman tidak dilaksanakan.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jila
kita sudah mempunyai kesepakatan dan anak melanggarnya, maka sanksi
harus dilaksanakan, jika kita kasihan, kita bisa mengurangi sanksinya,
dan usahakan hukumanya jangan bersifat fisik, tapi seperti pengurangan
bobot kesukaan mereka seperti jam bermain, menonton tv, ataupun bermain
video game.
30. Terpancing Emosi
Jika ada keinginannya yang
tidak terpenhi anak sering kali rewel atau merengak, menagis, berguling
dsb, dengan tujuan memancing emosi kita yang apda kahirnya kita marah
atau malah mengalah. Jika kita terpancing oleh emosi anak, anak akan
merasa menang, dan merasa bisa megendalikan orang tuanya. Anak akan
terus berusaha mengulanginya pada kesempatan lain dengan pancingan emosi
yang lebih besar la gi.
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Yang
terbaik adalah diam, tidak bicara, dan tidak menanggapi. Jangan
pedulikan ulah anak kita. Bila anak menangis katakan padanya bahwa
tangisannya tidak akan mengubah keputusan kita. Bila anak tidak menangis
tapi tetap berulah, kita katakan saja bahwa kita akan mempertimbangkan
keputusan kita dengan catatan si anak tidak berulah lagi. Setelah
pernyataan itu kita keluarkan, lakukan aksi diam. Cukup tatap dengan
mata pada anak kita yang berulah, hingga ia berhenti berulah, Bila
proses ini membutuhkan waktu lebih dari 30 menit tabahlah untuk
melakukannya. Dalam proses ini kita jangan malu pada orang yang
memperhatikan kita; dan jangan pula ada orang lain yang berusaha
menolong anak kita yang sedang berulah tadi… SEKALI KITA BERHASIL
MEMBUAT ANAK KITA MENGALAH, MAKA SELANJUTNYA DIA TIDAK AKAN MENGULANGI
UNTUK YANG KEDUA KALINYA.
31. Menghukum Anak Saat Kita Marah
Hal
yang perlu kita perhatikan dan selalu ingat adalah jangan pernah
memberikan sanksi atau hukuman apa pun pada anak ketika emosi kita
sedang memuncak. Pada saat emosi kita sedang tinggi, apa pun yang keluar
dari mulut kita, baik dalam bentuk kata2 maupun hukuman akan cenderung
menyakiti dan menghakimi dan tidak menjadikan anak lebih baik. Kejadin
tersebut akan membekas meski ia telah beranjak dewasa. Anak juga bisa
mendendam pada orang tuanya karena sering mendapatkan perlakuan di luar
batas.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
- Bila kita sedang sangat marah segeralah menjauh dari anak. Pilihlah cara yang tepat untuk bisa menurunkan amarah kita dengan segera.
- Saat marah kita cenderung memberikan hukuman yang seberat2ya pada anak kita, dan hanya akan menimbulkan perlawanan baru yang lebih kuat dari anak kita, sementara tujuan pemberian sanksi adalah untuk menyadarkan anak supaya ia memahami perilaku buruknya. Setelah emosi reda, barulah kita memberikan hukuman yang mendidik dan tepat dengan konteks kesalahan yang diperbuat. Ingat, prinsip hukuman adalah untuk mendidik bukan menyakiti. Pilihlah bentuk sanksi atau hukuman yang mengurangi aktivitas yang disukainya, seperti mengurangi waktu main game, atau bermain sepeda.
32. Mengejek
Orang
tua yang biasa menggoda anaknya, seringkali secara tidak sadar telah
membuat anak menjadi kesal. Dan ketika anak memohon kepada kita untuk
tidak menggodanya, kita malah semakin senang telah berhasil membuatnya
kesal atau malu. Hal ini akan membangun ketidaksukaan anak pada kita dan
yang sering terjadi anak tidak menghargai kita lagi. Mengapa? Karena ia
menganggap kita juga seperti teman2nya yang suka menggodanya,
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Jika
ingin bercanda dengan anak kita, pilihlan materi bercanda yang tidak
membuatnya malu atau yang merendahkan dirinya. Akan jauh lebih baik jika
seolah-olah kitalah yang jadi badut untuk ditertawakan. Anak kita tetap
aka n menghormati kita sesudah acara canda selesai. Jagalah batas2 dan
hindari bercanda yang bisa membuat anak kesal apalagi malu. Bagimana
caranya? Lihat ekspresi anak kita. Apakah kesal dan meminta kita segera
menghentikannya? Bila ya, segeralah hentikan dan jika perlu meminta
maaflah ayas kejadian yang baru terjadi. Katakan bahwa kita tidak
bermaksud merendahkannya dan kita berjanji tidak akan mengulanginya
lagi.
33. Menyindir
Terkadang karena saking marahnya orang
tua sering mengungkapkannya dengan kata2 singkat yang pedas dengan
maksud menyindir, seperti, “Tumben hari gini sudah pulang”, atau
“Sering2 aja pulang malem!” atau”Memang kamu pikir Mama/Papa in satpam
yang jaga pintu tiap malam?”. Kebiasaan ini tidak akan membuat anak kita
menyadari akan perilaku buruknya tapi malah sebaliknya akan mebuat ia
semakin menjadi-jadi dan menjaga jarak dengan kita. Kita telah menyakiti
hatinya dan membuatnya tidak ingin berkomunikasi dengan kita.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Katakanlah
secara langsung apa yang kita inginkan dengan kalimat yang tidak
menyinggung perasaan, memojokkan bahkan menyakiti hatinya. Katakan saja,
“Sayang, Papa/Mama khawatir akan keselamatan kamu lho kalo kamu pulang
terlalu malam”. Dan sejenisnya.
34. Memberi julukan yang buruk
Kebiasaan
memberikan julukan yang buruk pada anak bisa mengakibatkan rasa rendah
diri, tidak percaya diri/mimder, kebencian juga perlawanan. Adakalanya
anak ingin membuktikan kehebatan julukan atau gelar tersebut pada orang
tuanya.
Solusinya
Mengganti julukan buruk dengan yang baik,
seperti, anak baik, anak hebat, anak bijaksana. Jika tidak bisa
menemukannya cukup dengan panggil dengan nama kesukaannya saja.
35. Mengumpan Anak yang Rewel
Pada
saat anak marah, merengek atau menangis, meminta sesuatu de ngan
memaksa, kita biasanya mengalihkan perhatiannya kepada hal atau barang
lain. Hal ini dimaksudkan supaya anak tidak merengek lagi. Namun yang
terjadi malah sebaliknya, rengekan anak semakin menjadi-jadi. Contohnya,
anak menangis karena ia minta dibelikan mainan, Kemusian kita berusaha
membuatnya diam dengan berusaha mengalihkan perhatiannya seperi, ” Tuh
lihat tuh ada kakak pake baju warna apa tuh…”atau” Lihat ini lihat,
gambar apa ya lucu banget?” Ingatlah selalu, pada saat anak kita sedang
fokus pada apa yang diinginkannya, ia akan memancing emosi kita dan
emosinya sendiri akan menjadi sensitif. Anak kita pada umumnya adalah
anak yang cerdas. ia tidak ingin diakihkan ke hal lain jika masalah ini
belum ada kata sepakat penyelesaiannya. Semakin kita berusaha
mengalihkan ke hal lain, semakin marah lah anak kita.
Apa yang sebaiknya dilakukan?
Selesaikan
apa yang diinginkan oleh anak kita dengan membicarakannya dan membuat
kesepakatan di tempat, jika kita belum sempat membuat kesepakatan di
rumah. Katakan secara langsung apa yang kita inginkan terhadap
permintaan anak tesebut, seperti “Papa/Mama belum bisa membelikan mainan
itu saat ini. Jika kamu mau harus menabung lebih dahulu. Nanti
Papa/Mama ajari cara menabung. Bila kamu terus merengak kita tidak jadi
jalan-jalan dan langsung pulang.” Jika kalimat ini yang kita katakan dan
anak kita tetap merengek, segeralah kita pulang meski urusan belanja
belum selesai, Untuk urusan belanja kita masih bisa menundanya. Tapi
jangan sekali-kali menunda dalam mendidik anak.
36. Televisi sebagai agen Pendidikan Anak
Perilaku anak terbentuk karena 4 hal:
- Berdasar kepada siapa yang lebih dulu mengajarkan kepadanya: kita atau TV?
- Oleh siapa yang dia percaya: apakah anak percaya pada kata2 kita atau ketepatan wakyu program2 TV?
- Oleh siapa yang meyampaikannya lebih menyenangkan: apakah kita menasehatinya dengan cara menyenangkan atau program2 TV yang lebih menyenangkan?
- Oleh siapa yang sering menemaninya: kita atau TV?
Apa yang seharusnya kita lakukan?
- Bangun komunikasi dan kedekatan dengan mengevaluasi 4 hal tersebut yang menjadi faktor pembentuk perilaku anak kita.
- Menggantinya dengan kegiatan di rumah atau di luar rumah yang padat bagi anak2nya.
- Gantilah program TV dengan film2 pengetahuan yang lebih mendidik dan menantang mulai dari kartun hingga CD dalam bentuk permainan edukatif.
37. Mengajari Anak untuk Membalas
Sebagian
anak ada yang memiliki kecenderungan suka memukul dan sebagian lagi
menjadi objek penderita dengan lebih banyak menerima pukulan dari rekan
sebayanya. Sebagian orang tua biasanya tidak sabar melihat anak kita
disakiti dan memprovokasi anak kita unutuk membalasnya. Hal ini secara
tidak langsung mengajari anak balas dendam. Sebab pada saat itu emosi
anak sedang sensitif dan apa yang kita ajarkan saat itu akan membekas.
Jangan kaget bila anak kita sering membalas atau membalikkan apa yang
kita sampaikan kepadanya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?:
- Mengajarkan anak untuk menghindari teman-teman yang suka menyakiti.
- Menyampaikan pada orang tua yang bersangkutan bahwa anak kita sering mendapat perlakuan buruk dari anaknya.
- Ajaklah orang tua anak yang suka memukul untuk mengikuti program parenting baik di radio atau media lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar